“Nah, khusus keterampilan, kita duga telah terjadi ketidaksesuaian tentang pemahaman UU ITE. Mulai sejak awal dakwaan itu ada, dalam format akhir selalu mengatakan tentang perbuatan yang disalahkan terhadap terdakwa. Namun, tidak disebutkan dakwaan itu dalam Pasal 32,” terang Irfan sambil mengatakan frasa dengan menghilangkan kata pakai dan menambahkan caption tanpa seizin Pemprov DKI Jakarta.

Hal ini, lanjutnya, membuat Majelis Hakim menjadi bias sejak awal persidangan. Sehingga, dalam putusannya, hakim mengartikan upload video yang durasinya sudah berkurang, sebagai proses pengeditan.

Padahal, video Ahok di Pulau Seribu didapatkan dari akun facebook Media NKRI. Terlebih, ahli digital forensik tidak menemukan pengeditan video. Hanya menemukan video tersebut di download oleh Buni Yani.

“Lalu diedit dari mana? Pasal 32 ayat 1 dikatakan; siapa saja orang yang merubah, menambah, mengurangi, menyembunyikan informasi elektronik adalah pasal hacker. Satu pun saksi tidak ada yang melihat (Buni Yani merubah video). Para saksi yang diperiksa di persidangan semuanya pasal 28, tidak ada BAP pasal 32. Jadi tidak ada alat bukti,” paparnya.

Lebih lanjut, Irfan menambahkan, saat ini pihaknya tengah melengkapi berkas yang akan diperiksa oleh KY sebagai pelengkap. Di antaranya adalah berkas putusan sidang, rekaman selama persidangan dan eksepsi.

“Hari ini kita (tim penasihat hukum) bagi tugas, ada yang sedang mengajukan register banding di Pengadilan (Negeri Bandung),” tandasnya.

Sementara itu, Kabid Pengawasan Hakim dan Investigasi KY Jaja Ahmad menyatakan, pihaknya akan melakukan sinkronisasi terkait pemantauan yang selama ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Bandung.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan
Eka