Kemudian bulan Nopember, atas dasar audit LDD LGS dan FDD artur anderson, BPPN menyatakan Sjamsul Nursalim misrepresentasi karena hutang petambak yang dijadikan alat bayar BDNI adalah kredit macet sehingga petambak tidak bayar Rp 4,8 triliun.
“Oleh karena itu BPPN membebaskan secara sepihak kepada Sjamsul, kemudian Sjamsul menolak karena kewajibannya sudah disepakati sejumlah Rp28 triliun dan piutang petani tambak bukan tanggung jawabnya berdasarkan MSAA,” ujar dia.
Dalam MSAA, sambung Hasbullah, jika terjadi misrepresentasi padahal sudah disepakati maka seharusnya jika tidak disepakati adanya misrep harus di selesaikan melalui Pengadilan lewat gugatan perdata. Namun BPPN dan pemerintah pada saat itu tidak melakukan gugatan di pengadilan. Sehingga sampai dengan Syafruddin menjabat ketua BPPN (22 April 2002) tidak pernah Sjamsul secara hukum dinyatakan misrepresentasi.
Karena itulah dasar KPK mendakwa Syafrudin merupakan wilayah hukum perdata bukan pidana. “Sehingga dakwaan KPK kesalah orang (error in persona),” tegasnya.
Kasus Syafruddin, lanjut dia, salah orang karena SKL yang dikeluarkan Syafruddin adalah perintah Presiden Megawati melalu Inpres 8 tahun 2002. Selain itu adanya SKL juga atas perintah KKSK yang beranggotakan 5 Menteri (Menko Ekuin, Menkeu, Meneg BUMN, Menteri perindustrian, Kepala Bapenas) dan persetujuan Meneg BUMN sebagai atasan Syafrudin, sehingga ia hanya menjalankan perintah jabatan.