“Jadi salah kalau SAT yang disalahkan harusnya yang disalahkan yang memerintahkan,” tegasnya.
Pada saat BPPN berakhir tanggal 27 Februari 2004 atas perintah KKSK, ujar Hasbullah, Syafrudin menyerahkan pelimpahan aset piutang petambak sejumlah total Rp 4.8 triliun kepada Menteri Keuangan, yang kemudian oleh Menkeu aset piutang petambak dijual bersama-sama PT.PPA Rp220 miliar pada tahun 2007, kemudian berdarakan audit BPK ada kerugian negara Rp4.58 triliun, sehingga jika memang terjadi kerugian negara harusnya yang nertanggung jawab Menkeu dan PT PPA.
“Karean Syafruddin sudah selesai tahun 2004, sedangkan penjualan tahun 2007 dan bukan oleh Syafruddin, sehingga ini adalah error in persona,” tegasnya.
Sementara, pengamat hukum pidana dari Univeristas Al Azhar Prof Suparji Ahmad mengatakan, dalam kasus Syafruddin memang ada unsur perdata karena soal kewajibannya telah diselesaikan melalui hubungan keperdataan. Namun adanya dugaan unsur kerugian negara, memperkaya orang lain atau korporasi.
“Itu menjadi tantangan bagi Pengadilan Tipikor, apakah bisa membuktikan adanya nilai kerugian negara yang menjadi unsur pidana korupsi. Atau bisa jadi pengadilan membuktikan dugaan bahwa terbitnya perjanjian MSAA ada unsur yang tidak sesuai dengan mekanisme hukum yang benar,” kata dia.
(Wisnu)