Edi Dwi Martono menambahkan, selama dalam penahanan Ir Klemens Sukarno Candra dan Budi Santoso mengalami “intimidasi” secara psikologis dan menderita secara psikis.

Dirreskrimum Kombes Pol Agung Yudha, SIK selama dua hari berturut-turut pada tanggal 17-18 Mei 2018 turun langsung menemui dan menekan kedua tersangka, agar terbuka menerangkan semua data asset perusahaan, diarahkan agar segera dijual  kepada investor yang telah ditentukan, dengan dalih untuk menyelesaikan kasusnya. Permintaan ini menimbulkan keheranan, karena lokasi tanah yang menjadi obyek pelaporan hanya seluas 6 hektar, yang di atasnya bakal dibangun proyek apartemen Royal Afatar Word.

Pada sisi lainnya, penyidik Unit III Subdit II Harda Bangtah Direktorat Reskrimum Polda Jawa Timur tidak memberi akses dan menolak ketika tim kuasa hukum dari Jakarta yang diwakili H. Sabron D. Pasaribu, SH, M.Hum, Jumat (18/5) untuk bertemu kliennya di tahanan, guna kepentingan melakukan pembelaan.

Penyidik hanya memberikan kemudahan kepada tim kuasa hukum lokal yang dikenal sebagai “rekanan” Polda Jatim, yang ternyata menjadi bagian dari kelompok yang ingin mencaplok tanah milik PT Bumi Samudera Jedine. Kelompok mafia Surabaya ini menurut Edi Dwi Martono, selanjutnya diduga menekan dan mengintimidasi secara verbal kedua tersangka yang tengah ditahan, agar menjual tanahnya. Tanah seluas 6 hektar itu misalnya hanya dibandrol Rp 200 miliar.

Padahal harga tanah tersebut sesuai penilaian apresial adalah sekitar Rp 750 miliar. Dalam menjalankan aksinya, kelompok mafia ini sudah menyiapkan investor yakni pengusaha Surabaya yang juga kolega Kapolda Jawa Timur. Dia siap menggelontorkan dana Rp 200 miliar rupiah yang diperlukan.

”Dalam perkembangan terkini, kami mendapatkan laporan, pada Minggu (20/5) pukul 11.00 WIB semua pemegang saham PT Bumi Samudera Jedine diminta Direskrimum Kombes Pol Agung Yudha, SIK untuk datang dan berkumpul di Polda Jawa Timur, terindikasi akan “dipaksa” mengikuti skenario kelompok mafia, yaitu menjual tanah kepada pengusaha di Surabaya dengan harga 200 miliar rupiah. Atas kasus ini Kadiv Propam Mabes Polri harus segera turun tangan melakukan pemeriksaan,” demikian Edi Dwi Martono.