Jakarta, Aktual.com- Meski Kartu Prakerja memiliki payung hukum berupa Perpres No.36/2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja, hal itu tetap berpotensi memiliki masalah yang cukup besar.
Menurut Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies Jerry Massie, program Kartu Prakerja itu bisa dikategorikan sebagai “begal digital”, lantaran hal itu bukanlah urusan Airlangga Hartarto selaku Menko Perekonomian, melainkan domain Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Begal itu kan merampas. Nah, Menko Perekonomian ini telah merampas tugas Kemenaker dan Kemendikbud. Ini jelas-jelas menyalahi etika. Selain itu, anggarannya-pun harus diketuk di DPR. Dan juga banyak yang kecewa karena tak sesuai dengan tujuan,” tukas Jerry, Kamis (7/5).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi, menilai, pihak yang diuntungkan dari program pelatihan Kartu Prakerja adalah penyedia modul pendidikan, bukan masyarakat terdampak Covid-19.
“Masyarakat tidak mendapat keuntungan dari program pelatihan Prakerja karena saat ini lebih perlu bantuan sosial langsung. Bukan pembelian modul pelatihan, karena di Google dan YouTube banyak modul pelatihan gratis,” tukas Uchok.
Menurut Uchok, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto adalah biang masalah Kartu Prakerja, karena memaksakan program berjalan tanpa mendengar kritik publik.
Terlebih lagi, sambung Uchok, harga modul pelatihan sebagai syarat mendapat insentif dari Kartu Prakerja begitu mahal, serta kualitas dan pengawasan pelatihan yang tidak jelas.
“Kalau tidak mau dibilang sumber masalah, batalkan dong program itu. Jika Menko Perekonomian ngotot melaksanakan, maka wajar kami menilai mungkin ada kepentingan terselubung. Pemerintah harus tahu kebutuhan rakyatnya, bukan mengakomodasi kepentingan pihak tertentu,” ujarnya.
Pada kesempatan berbeda, Head of Research Data Indonesia, Herry Gunawan, justru melihat bahwa sejak peluncuran program kartu prakerja sudah terlihat adanya masalah konflik kepentingan. Sebab, diketahui salah satu dari delapan perusahaan rintisan (start-up) yang menjadi mitra prakerja tersebut ternyata milik Adamas Belva Syah Devara, Staf Khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang juga CEO Ruangguru.
“Kasus ruang guru itu yang pasti ada conflict of interest, sebab Belva adalah staf khusus presiden saat penunjukan terjadi. UU Administrasi Pemerintahan 2014 dan modul ‘Penanganan Konflik Kepentingan’ KPK menegaskan hal itu,” tukas Herry.
Meski Adamas Belva Syah Devara telah mengundurkan diri sebagai staf khusus Presiden Jokowi pada 17 April 2020 silam, Herry menegaskan, aparat hukum tetap harus menyelidiki potensi dugaan korupsi dalam pelaksanaan program Kartu Prakerja.
“Kan regulasinya sudah ada dan sangat jelas soal penanganan konflik kepentingan. Karena itu, penting bagi aparat hukum untuk menyelidiki potensi terjadinya penyimpangan di proyek pelatihan Rp5,6 triliun itu,” tegas Herry.[ant]
Antara
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin