Kebijakan Menteri ESDM Ignasius Jonan berbalik arah, secara perlahan-lahan ia memenuhi keinginan Freeport. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pengamat hukum energi dari Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi menyayangkan disetujuinya poin kesepakatan melalui perundingan antara PT Freeport Indonesia (PTFI) dengan Pemerintah justru tidak memberikan keuntungan bagi Pemerintah Indonesia. Hal tersebut karena, poin-poin kesepakatan perundingan mengandung banyak masalah.

“Pertama, pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada PTFU tidak sesuai dengan UU Minerba. Menurut UU Minerba IUPK dapat diberikan melalui penetapan WPN (Wilayah Pencadangan Negara) yang harus disetujui DPR. IUPK pun seharusnya diprioritaskan diberikan kepada BUMN,” kecam dia kepada Aktual.com, di Jakarta, Selasa (29/8).

Kedua, pembangunan smelter merupakan kewajiban lama PTFI yang di waktu yang lalu pun diperjanjikan oleh Freeport untuk dibangun, toh hingga detik ini pun tidak terbangun.

Ketiga, pembelian saham divestasi di masa akan berakhirnya Kontrak Karya (KK) merupakan kebijakan yang sesungguhnya merugikan bagi Indonesia karena tanpa membeli saham divestasi pun maka pada tahun 2021 atau setelah KK berakhir maka wilayah eks PT Freeport menjadi milik Pemerintah Indonesia.

“Dan keempat, terkait divestasi saham oleh Freeport itu sesungguhnya dalam KK perpanjangan 1991 sudah ada kewajiban divestasi saham PT Freeport yang harusnya pada tahun 2011 sudah 51% dimiliki Pemerintah, namun faktanya tidak dilakukan,” kata Redi.

Juatru menurut dia, hasil perundingan ini malah bentuk mengukuhan kembali PT Freeport untuk mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) Indonesia yang kemanfaatannya bagi bangsa Indonesia sangat rendah.

“Ini jadi seperti Orde Baru. Karema pemerintah sekarang pun menjadi pewaris potensi masalah PT Freeport sebagaimana tahun 1967 dan 1991 lalu ketika Orde baru mewariskan masalah PT Freeport kepada generasi saat ini,” jelasnya.

(Reporter: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka