Jakarta, Aktual.com – Pengamat perkotaan, Yayat Supriatna, mengungkapkan pelaksanaan reklamasi Pantai Utara Jakarta sejak awal memang menimbulkan kontroversi. Terutama terkait tujuan dari reklamasi itu sendiri, yakni untuk kepentingan masyarakat Jakarta aatau kepentingan pengembang.
“Banyak yang mempertanyakan, bahwa desain reklamasi itu berbenturan dengan kepentingan banyak aspek di kawasan Pantai Utara. Nah, Ketika dibangun juga ada persoalan baru sebab tidak ada Perda-nya sebagai panduan dan pegangan,” terang Yayat di Jakarta, Rabu (20/7).
“Pemerintah DKI mengacu pada Keppres 95, tetapi izin reklamasi kan sebagai prinsip awal. Untuk pembangunan harus tetap mengacu pada pedoman-pedoman yang diatur selanjutnya (Perda),” sambungnya.
Ibaratnya, kewenangan yang dimiliki Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dipegang secara keukeuh namun dalam praktiknya tidak ada panduannya. Sebab tidak ada Perda-nya yang menjadi panduan.
Dua perda itu adalah rencana tata ruang kawasan strategis pantai utara Jakarta (RTRKSPJ) dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K). Dalam Perda itu diatur mana untuk nelayan, pelayaran, infrastruktur dan sebagainya.
“Yang terjadi sekarang apa? Misalnya dibangun diatas kabel PLN yang kemarin dianggap sebagai pelanggaran berat oleh Menko Maritim. Disini kelihatannya ketika kebijakan reklamasi dibuat ada masalah dengan pedoman dan petunjuk pelaksanannya yang harus mengacu dengan peraturan yang lebih tinggi,” jelas Yayat.
Hasil Komite Gabungan bentukan Menko Maritim yang terdiri dari beberapa kementerian dan Pemda DKI Jakarta, lanjut dia, menunjukkan adanya kategori pelanggaran dalam pelaksanaan reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Dimana Pulau G dinyatakan masuk dalam kategori pelanggaran berat. Salah satunya karena dianggap melanggar peraturan sehingga dihentikan pembangunannya. Sementara Ahok sendiri keukeuh dengan tetap berpedoman pada Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995.
“Tetapi Keppres 95 juga ada persoalan karena tidak ada panduan, tidak petunjuk pelaksanaan, dan petunjuk teknisnya. Itu tidak ada. Bagi kita yang tahu persoalannya secara akademik, membangun reklamasi itu perlu petunjuk teknis yang lengkap. Instrumen aturan dan petunjuk itu yang belum ada sampai sekarang,” kata Yayat.
Disinggung perubahan Keppres 95 menjadi Perpres 54 Tahun 2008, terutama pada aspek tata ruangnya sementara pada aspek lainnya tetap. Dengan kaya lain, Pemda DKI tidak bisa memberikan perizinan pelaksanaan dan pembangunan tanpa ada Perda-nya.
“Kalau di Pulau G ada bangunan, itu pertanyaannya bangunan didirikan atas izin apa? Lalu jembatan yang harusnya dari pulau ke daratan 300 meter, tapi dalam praktiknya hanya 100 meter bagaimana? Bagaimana dengan backwaternya? Disini menurut saya ada kekosongan hukum yang diisi dengan diskresi,” imbuh dia.
Kewenangan diskresi oleh Gubernur itulah yang menjadi pedoman mengapa muncul kebijakan-kebijakan lain. Dalam hal in misalnya ada perjanjian preman atau konstribusi antara Gubernur Ahok dengan pengembang.
Perjanjian yang disebutnya belum ada payung hukumnya. Berdasarkan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, diskresi diperbolehkan diambil kepala daerah ketika tidak ada pedoman dan petunjuk didalamnya. Sejauh mana melihat diskresi ini tergantung pada niatnya, apakah untuk kepentingan publik atau kepentingan lainnya.
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan disampaikan dia mengijinkan dikeluarkannya diskresi. Akan tetapi dalam hal tata tata ruang, kebijakan itu sudang meninggalkan discretionary system kepada regulary system. Sebab semua kebijakan harus dibuat berdasarkan aturan.
Selain itu juga mengacu pada rekomendasi dari hasil kajian ilmiah, Amdal, KLHS dan sebagainya, sehingga ketika diskresi itu dikeluarkan sudah ada pedoman dan petunjuknya.
“Mana pedoman yang digunakan oleh DKI ketika ijin itu dikeluarkan. Bagaimana dengan Amdalnya, bagaimana dengan infrastruktur dibawah lautnya, bagaimana perjanjiannya dengan PLN dan gas, bagaimana dengan keselamatan insfratruktur karena dia berada dikawasan strategis nasional,” katanya.
“Kebijakan reklamasi itu memang banyak kekurangannya. Pertama, dibuat ketika aturannya
belum mendukung. Kedua dikaitkan dengan kajian-kajian yang belum komprehensip, ketiga dikaitkan dengan persoalan keterbatasan infrastruktur dan keempat ada kepentingan strategis nasional yang harus dipertimbangkan,” demikian Yayat.
Laporan: Soemitro
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby