Jakarta, Aktual.com – Peristiwa pelarangan umat muslim untuk menjalankan ibadah hingga mengenakan simbol-simbol agama seperti jilbab, berujung pada aksi pembakaran rumah ibadah saat pelaksanaan shalat Idul Fitri 1436 Hijriah di Tolikara, Papua, terus menjadi perhatian publik.

Direktur The Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, saat dihubungi, mengatakan bahwa kejadian di Tolikara tidak terlepas dari kepentingan busuk politik yang dibungkus dengan sentimen agama dan ekonomi sebagai pemicunya.

“Tragedi biadab ini produk simbiosis dari jejaring OPM yang berkolaborasi dengan anasir Asing melalui gereja dan misionarisnya di tambah bobroknya pemerintah daerah setempat yang terindikasi banyak kasus korupsi,” ucap dia, Rabu (22/7).

“Serta tidak sigap dan seriusnya aparat keamanan plus intelijen untuk mengambil tindakan preventif berdasarkan data awal yang cukup akurat tentang potensi gangguan keamanan tersebut,” tambahnya.

Selain itu, kondisi semakin diperparah dengan sikap gagapnya pemerintah untuk bertindak tegas mengindikasikan kompleksitas kepentingan politik berbagai pihak di tanah Cendrawasi itu. Justru, sambung dia, sikap pemerintah melalui instansi terkait mencoba membela unsur Kristen (DIGI) yang secara faktual melakukan tindak kriminal.

“Sangat aneh dan blunder pemerintah tidak cekatan dan tegas, padahal masyarakat muslim saat ini mayoritas melihat fakta permukaan bahwa telah terjadi intoleransi, sehingga perlu tindakan tegas. Dan jika tidak tegas justru menyisakan tanda tanya besar; apakah sekedar ingin membela tirani minoritas di Indonesia atau karena tidak ingin ada tekanan asing kepada pemerintah saat ini.Umat Islam menunggu solusi kongkritnya!,” tegas Pemerhati Kontra-Terorisme itu.

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang