Berdasarkan pakar di bidang kajian ASEAN ini, dia pun menemukan bahwa investasi yang salah sasaran ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di sejumlah negara di kawasan.
Sejak menjalin kerja sama strategis pada Oktober 2003, nilai perdagangan kedua pihak melonjak dari Rp759 triliun menjadi sekitar Rp7.000 triliun pada tahun 2017, atau meningkat hampir 10 kali lipat dalam jangka waktu 15 tahun.
Selain itu, total nilai investasi langsung dua arah mencapai Rp2.700 triliun secara keseluruhan, belum lagi ditambah dengan jumlah kunjungan pada tahun 2017 yang mencapai 49 juta orang dan pertukaran pelajar yang mencapai 200 ribu orang.
Dafri, yang juga dosen di Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM ini menceritakan, dalam sebuah seminar di Beijing dua bulan lalu dia memaparkan penelitannya tersebut dan mendapat sambutan dan dukungan dari sejumlah delegasi yang hadir.
“Dari sini akhirnya yang saya lihat adalah investasi ini justru jadi alat hegemoni dari China untuk menguasai apa saja yang ada di Indonesia,” tutur Dafri menambahkan.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid