Penyebab lainnya adalah tidak adanya interpretasi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan isu SARA itu sendiri. Meskipun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum jelas melarang praktik menghina etnik, agama, kelompok, serta masyarakat tetapi tidak jelas definisi dari penghinaan itu sendiri.

Faktor lainnya yakni masih lemahnya penindakan hukum terhadap pihak-pihak yang terbukti menggunakan isu SARA dalam kontestasi pemilu.

Ray membandingkan dalam UU Pemilu, pelaku isu SARA hanya dikenai hukuman 1 tahun penjara, sedangkan dalam UU ITE, pengguna isu SARA bisa dijerat hingga 5 tahun penjara.

Akibatnya, tidak ada efek jera bagi para pelakunya. Atas dasar itu, dia memperkirakan isu SARA berpotensi digunakan kembali dalam Pilkada 2018, apalagi isu tersebut terbukti dapat mendongkrak atau menjatuhkan elektabilitas seseorang.

Pengamat politik Yusa Djuyandi menilai panasnya persaingan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta salah satunya disebabkan oleh politik akar rumput yang lebih bersifat ideologis dan idealis daripada di tataran elite yang lebih bersifat pragmatis.

Sebagai buktinya, meskipun Golkar pada era kepemimpinan Setya Novanto, dan juga PPP mengubah haluan politiknya untuk lebih dekat dengan kubu pemerintah dan PDI Perjuangan, tidak serta-merta mengubah orientasi politik ideologis dan idealis arus bawah.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Andy Abdul Hamid