Demokratisasi di tingkat lokal yang terwujud dalam pelaksanaan pilkada memang memberikan peluang bagi adanya sentimen identitas tertentu, dasarnya adalah keyakinan bahwa calon dari kelompoknya akan lebih memperhatikan nasib sesama.
Oleh karena itu, sering kali masyarakat di daerah juga menjadi loyalis sejati dalam menghantarkan calonnya untuk menjadi kepala daerah, termasuk setelah kemenangan atau kekalahan itu sendiri.
Sementara itu, soal adanya kecurigaan bahwa pemanfaatan politik identitas di Jakarta akan memicu kerawanan konflik pilkada lainnya, Yusa mengatakan bahwa hal itu memang menjadi perhatian serius, terutama bila melihat Jakarta sebagai barometer demokrasi di Indonesia.
Akan tetapi, dia meyakini persoalan politik identitas yang terjadi di Jakarta tidak akan meluas terbawa ke daerah dikarenakan adanya kondisi yang berbeda.
Kondisi di Jakarta menjadi berbeda karena ada kesalahan retorika politik yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama. Padahal, jika itu tidak terjadi, hasil dari beberapa lembaga survei yang mengatakan bahwa Ahok menang akan sangat besar peluangnya untuk terbukti.
Ia menegaskan bahwa situasi politik dan koalisi politik akan selalu bersifat dinamis meski masih ada beberapa permasalahan dikotomi politik, seharusnya hal itu dapat disikapi secara dewasa. Dengan demikian, adanya perbedaan bukan untuk mencari perpecahan, melainkan mencari persamaan tujuan politik yang berorientasi pada kepentingan nasional yang lebih besar.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Andy Abdul Hamid