Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian (kedua kiri) serta Komandan Korps Brigade Mobil (Brimob) Irjen Polisi Murad Ismail (kiri) menyalami personel Brimob seusai upacara pengarahan kepada personel di Mako Brimob Kelapa Dua, Jakarta, Jumat (11/11). Presiden menegaskan tugas serta tanggung jawab Korps Brimob untuk mengamankan wilayah serta sebagai pemersatu bangsa, Presiden juga memberikan apresiasi terkait pengamanan saat demonstrasi 4 November lalu. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/foc/16.

Jakarta, Aktual.com – Pengamat Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun, mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo yang rajin mengunjungi lembaga pertahanan dan ormas keagamaan pasca aksi Bela Islam 411.

“Saya kira Jokowi berusaha untuk meredam dan menghendaki agar tidak terjadi demo besar pada 25 November nanti,” ujar Ubedilah di kawasan Senayan, Jakarta, Senin (14/11).

Namun, Ubedilah tak menampik bahwa safari politik Jokowi tersebut dalam upaya konsolidasi atas kekhawatirannya menanggapi aksi lanjutan atau aksi Bela Islam jilid III.

“Langkah itu sebenarnya satu sisi antisipasi, satu sisi lain khawatir gejolak sosial lebih besar,” jelas Direktur Pusat Studi Sosial Politik (Puspol) ini.

Menurut Ubed, kunci meredam gejolak kemarahan masyarakat terhadap kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok sebenarnya berada ditangan presiden dan institusi Polri sendiri. Bila tak menghendaki demonstrasi yang lebih besar, kata dia, maka pemerintah harus bertindak rasional.

“Kalau enggak mau didemo, saya rasa Pak jokowi sebaiknya diam tak bahas isu-isu itu lagi. Kedua, kepolisan harus bicara rasional apa sih hasil penyidikan dalam soal Al-Maidah itu,” pungkasnya.

Jadi, tambah dia, rasionalitas elite akan mempengaruhi gejolak atas aksi lanjutan tersebut.

“Tapi kalau caranya arogan, saya kira kelompok anti Ahok akan semakin resisten terhadap Ahok dan mungkin demonstrasi besar akan terjadi lagi,” tandas Ubedilah.

Laporan: Nailin In Saroh

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby