Jakarta, Aktual.com – Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 tinggal dua pekan lagi. Namun Partai Golkar mendapat terpaan karena kadernya ada yang terjerat kasus suap di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui operasi tangkap tangan.
Menurut pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin peluang Golkar mendapat suara signifikan seperti di pemilu-pemilu sebelumnya sulit terwujud. Ia menilai, pada pemilu kali ini Golkar bakal mengalami kesulitan akibat sejumlah elitenya terlibat perkara korupsi.
Karena lanjut Ujang, dengan terseretnya sejumlah kader Golkar belakangan ini jelas sangat berpengaruh dan merugikan elektabilitas partai berlambang pohon beringin itu di mata publik.
Dia mengatakan, suara Golkar di Pileg 2019 diprediksi mengalami penurunan dibandingkan Pileg 2014. “Memperlemah, karena berita tersebut merupakan sentimen negatif,” kata Ujang kepada wartawan, Kamis (4/4).
Ujang menilai, isu korupsi yang menjerat kader Golkar bakal memperberat partai itu menghadapi Pemilu 2019. “Peluang untuk menjadi 2 besar sepertinya akan sulit. Karena Gerindra terus merangkak. Sedangkan Golkar terkena terkena badai korupsi lagi,” paparnya.
Diketahui, Golkar diterjang sejumlah kasus korupsi yang melibatkan sejumlah petingginya, mulai kasus mantan Ketua Umumnya Setya Novanto. Eks Ketua DPR itu divonis Pengadilan Tipikor Jakarta dengan hukuman 15 tahun penjara.
Partai ini seperti dilanda banjir bandang setelah nama Idrus Marham yang juga mantan Menteri Sosial dan Sekjen Golkar juga ditangkap KPK. Kasus teranyar, KPK melakukan tangkap tangan (OTT) terhadap kader Golkar yang juga anggota Komisi VI DPR RI Bowo Sidik Pangarso. Bowo dicokok KPK justru di hari-hari terakhir masa kampanye.
Bowo Sidik Pangarso yang juga terdaftar sebagai caleg DPR RI dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah II yang mencakup Kudus, Demak dan Jepara ditangkap KPK pada akhir Maret (27/3). Dia diduga menerima suap dalam kasus terkait distribusi pupuk.
Menurut KPK, duit yang diterima kader Golkar itu tidak sedikit. Sekitar Rp.8 miliar. Duit itu diduga akan digunakan Bowo untuk operasi fajar pada 17 April nanti, saat hari H pemilu. Buktinya, uang Rp8 miliar tersebut dipecah dalam satuan Rp20.000 dan Rp50.000. Sebagian dana tersebut sudah dimasukan kedalam 400.000 amplop yang sudah disiapkan.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan dana Rp8 miliar dalam pecahan Rp20.000 dan Rp50.000 itu disimpan dalam 84 kardus. Penyidik KPK sedang membongkar, mengeluarkan dan menghitung pecahan duit itu dari amplop-amplop yang ada.
KPK mensinyalir kasus 400.000 amplop tersebut merupakan puncak gunung es dari politik uang yang diduga bertebaran pada saat pemilu. Karena itu KPK meminta Bawaslu dan polisi mencermati kasus-kasus serupa yang dilakukan kader Golkar itu.
Belum reda kasus Bowo Sidik Pangarso, Partai Golkar kembali dilanda badai. Pada Senin (1/4), KPK memeriksa dan menahan kader Golkar, Markus Nari. Kader Golkar dari Toraja, Sulawesi Selatan itu memang telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 19 Juli 2017. Namun baru diperiksa dan ditahan sekarang.
Markus Nari, anggota Fraksi Golkar di Komisi VIII DPR RI itu merupakan bagian dari gurita kasus E-KTP yang melibatkan Ketua Umum Golkar Setya Novanto. Penahanan Markus Nari, mengingatkan kembali publik mengenai persekongkolan pembalakan APBN untuk kepentingan sejumlah anggota Dewan.
Di saat ingatan publik mulai memudar soal kasus E-KTP yang mengantar Setya Novanto ke Sukamiskin, kini KPK seakan menyegarkannya kembali.
Ini sama sekali tidak ada politisasi. Kasus ini murni hukum. Sekarang waktu yang tepat bagi KPK untuk memeriksa MN (Markus Nari),’’ kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.
Penangkapan dan penahanan Bowo Sidik Pangarso dan Markus Nari melengkapi kasus dua kader Golkar lainnya yang sedang ditangani KPK. Pertama mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham yang kini duduk di kursi terdakwa. Satunya lagi kasus yang menimpa anggota Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih yang baru saja divonis majelis hakim dengan hukuman enam tahun penjara.
Idrus Marham dan Eni Saragih menjadi pesakitan dalam kasus yang sama yakni proyek PLTU Riau-1. Idrus diduga menerima dana dari pengusaha Johanes Kotjo melalui Eni Maulani yang merupakan anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Timur X mencakup Gresik dan Lamongan.
Jaksa penuntut umum KPK menuntut Idrus Marham dengan hukuman lima tahun penjara. Mantan Menteri Sosial itu disebut menerima dana Rp2,25 miliar dari Johanes Kotjo. Idrus pula yang disebut memperkenalkan Eni kepada Kotjo.
Dalam vonis majelis hakim terhadap Eni Maulani Saragih yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta (1/3) jelas disebutkan bahwa Idrus memerintahkan Eni Maulani Saragih agar meminta duit kepada Kotjo untuk kepentingan Munaslub Golkar. Ini pertama kali nama institusi dibawa-bawa, tidak sekadar kepentingan pribadi perorangan.
Dalam persidangan terungkap bahwa ada dana sebesar sekitar Rp7,6 miliar diberikan Eni Maulani Saragih untuk kemenangan suaminya M Al Khadzig dalam Pilkada Temanggung Jawa Tengah.
Kasus korupsi yang dihadapi empat kader inti Golkar itu menambah panjang daftar kader partai berlambang beringin itu membelit partainya. Kini Golkar seakan dikepung dari empat penjuru mata angin oleh kasus-kasus korupsi yang dilakukan para kadernya.
Menurut data KPK, sejak 2002 hingga sekarang sebanyak 72 anggota DPR RI menjadi pesakitan KPK. Dari jumlah itu paling banyak adalah kader Golkar yakni sebanyak 24 orang, diikuti PDIP sebanyak 18 orang, Denokrat 9 orang, PAN 6 orang dan PPP 5 orang. Parpol lain masing-masing 2 dan satu orang.
KPK melalui Juru Bicara Febri Diansyah selalu mengatakan penangkapan atau penanganan perkara korupsi terhadap anggota DPR atau kader partai politik, tidak terkait dengan situasi politik aktual. Adanya sejumlah kasus korupsi yang menimpa kader Golkar saat ini, sedikit atau banyak akan berimplikasi pada elektabilitas Golkar.
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto berusaha memulihkan citra Golkar, namun tekad Airlangga sepertinya belum sepenuhnya mendapat sambutan kader beringin. Buktinya masih ada saja kader Golkar yang dicokok KPK justru di saat masa kampanye yang merupakan waktu kritis menuai kepercayaan publik.
Artikel ini ditulis oleh: