Jakarta, aktual.com – Pengamat dari IndoTelko Forum Doni Ismanto Darwin mengingatkan DPR tidak terburu-buru mengesahkan rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Keamanan dan Ketahanan Siber (Kamtansiber) menjadi Undang-Undang, lantaran masih banyaknya kelemahan dalam draft tersebut.

“Idealnya RUU ini dibahas lagi dan jangan buru-buru disahkan karena semangatnya masih konvensional tak kekinian. Karena yang akan menjalani nantinya kan untuk masa depan,” kata Doni dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (31/7).

Dikatakan Doni, masih banyak hal yang harus diluruskan dalam draft RUU a quo. Bahkan, ia mencontohkan, tentang definisi Kamtansiber yang terlalu luas dan tidak jelas nantinya akan membebani industri dan regulator.

“Termasuk sanksi resiprokal yang dikenakan kepada lembaga pemerintahan yang melanggar tidak jelas,” katanya.

Selain itu, dalam Pasal 12 ada kewajiban untuk membuat salinan data elektronik, tapi tidak dijelaskan penyimpanannya di mana.

“Bagusnya secara eksplisit di level UU disebutkan kewajiban untuk data diletakkan di wilayah hukum Indonesia,” jelasnya.

Doni juga mengatakan pemerintah dan DPR perlu memperjelas definisi “kejahatan siber” (cyber crime) dan ketahanan siber (cyber resillience).

“Kalau dibaca secara umum masih sangat sedikit pembahasan di RUU yang terkait dengan cyber defense,” kata dia.

Kemudian, Doni juga menyoroti tentang banyaknya pembahasan tentang perizinan.

“Idealnya harusnya bagimana memberdayakan dan memproteksi sumberdaya manusia di sektor siber dalam negeri,” katanya.

Hal itu menyebabkan, draft RUU ini terkesan lebih menempatkan posisi siber dimonopoli pemerintah.

“Ini bertentangan dengan semua teori tentang siber yang egaliter,” pungkas dia

Seperti diketahui, awal Juli 2019, DPR resmi mengesahkan usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Keamanan dan Ketahanan Siber sebagai RUU inisiatif DPR.

Hal ini diputuskan dalam Rapat Paripurna ke-157 Masa Sidang V tahun 2018-2019. Namun pembahasannya menunggu Surat Presiden (Surpres) untuk mengutus menteri atau pimpinan lembaga untuk membahas bersama DPR.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin