Jakarta, Aktual.com – Djoko Setijowarno, seorang Pengamat transportasi dan Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), mengusulkan pendekatan “tarik dan dorong” untuk mengatasi polusi udara di Jakarta.

Djoko Setijowarno, yang merupakan pakar transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, menyatakan bahwa solusi yang telah diterapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, seperti bekerja dari rumah (work from home/WFH), aturan “4 in 1” untuk kendaraan, dan pemeriksaan emisi kendaraan, umumnya hanya berfokus pada aspek “dorong” namun kurang memperhatikan aspek “tarik”.

“Langkah-langkah yang telah diambil oleh pemerintah, seperti WFH, aturan ‘4 in 1’, dan pemeriksaan emisi kendaraan, semuanya hanya berfokus pada aspek ‘dorong’ atau sumber polusi, namun kurang pada aspek ‘tarik’,” ujar Djoko saat dihubungi di Jakarta pada hari Rabu.

Djoko menyebut bahwa solusi yang diperlukan tidak hanya harus berfokus pada sumber polusi (dorong), tetapi juga pada mengurangi permintaan akan penggunaan kendaraan pribadi (tarik), dengan memperkuat sistem angkutan umum di kota-kota di sekitar Jakarta, yang sering disebut sebagai kota-kota penyangga.

Menurut Djoko, pencemaran udara di Jakarta cenderung meningkat selama musim kemarau pada bulan Juni hingga Agustus 2023. “Sumber polutan terbesar berasal dari sektor transportasi (44 persen) dan sektor industri (31 persen),” jelas Djoko.

Dalam data yang dikumpulkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2022, terdapat sekitar 25,5 juta kendaraan bermotor yang terdaftar dan beroperasi di DKI Jakarta. Djoko menyebutkan bahwa sebanyak 78 persen dari kendaraan tersebut adalah sepeda motor. Sepeda motor memiliki dampak pencemaran udara per penumpang yang lebih tinggi dibandingkan dengan mobil pribadi berbahan bakar bensin atau solar, mobil penumpang, dan bus.

Djoko menekankan pentingnya efisiensi kendaraan. “Naik bus, misalnya, akan memberikan kontribusi emisi CO2 yang lebih rendah dibandingkan naik sepeda motor atau mobil pribadi,” tambahnya.

Djoko menyatakan bahwa wilayah DKI Jakarta sudah memiliki dukungan angkutan umum dari Transjakarta yang mencapai 88 persen cakupan. Namun, situasinya berbeda di kota-kota penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

“Ini mengarah pada solusi ‘tarik dan dorong’. Seperti yang dilakukan dengan TransPakuan Bogor, perlu dibangun solusi serupa di kota-kota seperti Bekasi, Depok, Tangerang Selatan, dan Tangerang,” ungkap Djoko.

Djoko menjelaskan bahwa pembangunan jaringan transportasi umum yang komprehensif harus merambah seluruh wilayah permukiman di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). “Kebutuhan transportasi dimulai dari tempat tinggal, sehingga jaringan transportasi umum harus menjadi prioritas di kota-kota ini,” kata Djoko.

Djoko juga menggarisbawahi konsep “pengelolaan permintaan transportasi” atau transport demand management melalui strategi “tarik dan dorong”. “Aspek ‘tarik’ melibatkan penyediaan transportasi publik, fasilitas pejalan kaki yang baik, dan idealnya jalur sepeda. Setelah transportasi umum tersedia di kota-kota penyangga, maka dapat diterapkan aspek ‘dorong’,” papar Djoko.

Strategi “dorong” mencakup kebijakan seperti aturan ganjil-genap, peningkatan tarif parkir di pusat kota, skema pajak progresif, dan langkah-langkah lain yang mendorong masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi. Djoko menyimpulkan bahwa pendekatan “tarik dan dorong” tidak hanya dapat mengatasi polusi udara, tetapi juga dapat mengurangi masalah kemacetan.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Sandi Setyawan