“Ya, tetapi ini variabel utamanya, apa lagi yang bersangkutan tidak sering berurusan dengan posyandu, pendidikan, kesehatan, ijazah dan lainnya,” ucapnya.

“Kalau orang merasa lebih baik ke dukun daripada ke posyandu, tidak pernah berurusan dengan ijazah, maka tidak perlu butuh KTP. Kalau tidak butuh KTP, mengapa harus antre berhari-hari bahkan berbulan-bulan untuk merekam KTP elektronik,” ujarnya.

Karena itu, pemerintah harus bisa menyiasati, seperti wajib alamat atau tempat tinggal, dan ini harus dimulai dari tingkat rukun tetangga (RT).

“Masa RT dikasih honor, tetapi masyarakat dilingkungannya sendiri tidak teridentifikasi dengan baik,” kata pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIK) Unwira itu.

Hanya dengan cara itu, masyarakat terutama yang sudah berusia 17 tahun ke atas, akan merasa terdorong untuk memiliki KTP. Bukan dengan mengancam mereka tidak menggunakan hak suara dalam pilpres/pileg maupun pilkada, katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid