Jakarta, Aktual.com- Seminar hukum mengenai bunga rampai peninjauan kembali (PK) menghangatkan ruangteater Fakultas Hukum dan Syariah (FSH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (16/6) sore pekan ini.

Beberapapraktisi dan akademisi hukum berkumpul mengisi seminar yang bertajuk “Nasib PK Jaksa Pasca Putusan MK”. Mereka menyoroti mengenai putusan MK yang menegaskan pasal 263 ayat (1) KUHAP.

Pakar hukum pidana dari Univeritas Indonesia (UI), Chudry Sitompul menyatakan bahwa jaksa tidak memiliki hak untuk mengajukan PK setelah adanya putusan MK.

“Tapi semata-mata karena prosedur hukumnya yang ditetapkan keputusan Mahkamah Konstitusi itu berlakunya ke depan, prospektif, sehingga keadilan si terpidana itu dirugikan. Maka saya kasih jalan keluar, ya ajukan saja PK yang baru. Mengajukan PK atas putusan PK yang sebelumnya,” katanya.

Chudry juga menegaskan sebenarnya keputusan MK tersebut bukanlah norma baru dan hanya menegaskan KUHAP yang sudah ada. ”Cuma KUHAP itu dilanggar. Saya kira karena ini masa transisi,mestinya Mahkamah Agung menerima PK terhadap PK-nya Jaksa itu,” ujarnya.

Ia juga mengatakan bahwa putusan PK setelah adanya putusan MK ini dalam pelaksanaan eksekusinya menjadi tidak sesuai karena tidak mempunyai substansi hukum itu sendiri. “Semestinya demi rasa keadilan, ya PK jaksa itu ya non-executable. Tapi kalau jaksa tidak mau, ya ajukan PK lagi. Karena secara substansial orang itu tidak bersalah, tapi kok dihukum,” tambahnya.

Karena itu, ia menyayangkan bila Kejaksaan Agung tidak menerima putusan MK tersebut bahwa jaksa tidak boleh melakukan PK lagi. “Kalau Mahkamah Agung tidak mau menghargai putusan Mahkamah Konstitusi, ya kan ngga menghormati Undang-Undang namanya. Dia melanggar sumpahnya,” tuturnya.

Karena menurutnya, dalam konteks kehakiman,seorang hakim harus berhati-hati dalam memutuskansuatu perkara. “Lebih baik membebaskan orang yang bersalah dari pada menghukum orang yang tidak bersalah,” katanya menekankan demi keadilan yang bersangkutan.

Sementara itu, pengamat politik hukum dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti mengatakan bahwa kesimpulan hukum dari suatu peradilan bisa saja salah. Karena itu, PK bisa dimanfaatkan oleh ahli waris terpidana untuk meminta keadilan. “Karena PK merupakan anti tesis dari rezim orde baru yang otoriter,” ujarnya.

Apalagi, menurutnya, saat ini Indonesia sudah masuk zaman reformasi di mana hak individu warga negara di lindungi hukum. “Maka hak ini dituangkan dalam hak mengajukan PK untuk melindungi terpidana sebagai individu dari negara, karena JPU sudah diberikan upaya penuntutan dan pencarian barang bukti di tingkat sebelumnya,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara