Namun di sisi lain jika mau diakui secara ilmiah, hakim itu adalah pembuat undang undang (law maker) atau ada yang disebut “putusan jalan tengah” jadi di sini hakim telah membentuk dan menemukan hukum berdasarkan fakta fakta baru yang mengharuskan hakim untuk menyimpang dari “strikt recht” yang telah ada, atau adanya kekosongan hukum serta living law (melihat perkembangan masyarakat ) kekritisan masyarakat yang mulai dapat mengemukakan fakta-fakta sehingga hakim mempergunakan hukum progresif.

“Kedua pandangan yang jadi ‘gap’ inilah yang akhirnya menimbulkan pro kontra padahal masalahnya adalah terdapat kekurangan dalam aturan KUHAP yang tidak mengatur tentang mekanisme bagi penyidikan yang berlarut-larut,” katanya.

Meski demikian prinsipnya dalam peradilan pidana itu adalah sebuah arena pertempuran dari “dua kubu yang berbeda dalil kepentingan” dari masing masing pihak dalam hal ini nantinya akan menimbulkan perlawanan dari pemohon maupun bagi termohon praperadilan terkhusus lagi bagi nama-nama yang disebutkan dan ditetapkan sebagai tersangka, karena terganggunya kepentingan hukumnya.

Sehingga tidak ada cara yang efektif selain mendorong DPR dan Pemerintah untuk pengesahan KUHP dan KUHAP dengan segera agar ada kepastian hukum bagi aparatur hukum serta adanya jaminan hak asasi manusia yang tercermin dalam hukum acara pidananya.

“KUHP dan KUHAP akan berhasil disahkan sepanjang DPR, pemerintah serta aparatur penegak hukum mempunyai itikad baik dan keinginan luhur secara bersama sama mewujudkan Indonesia yang lebih baik karena faktanya sampai saat ini KUHP dan KUHAP belum disahkan,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid