Pada ketentuan ayat (5), misalnya, revisi sebetulnya hanya terkait dengan prosedur atau tata cara pemanggilan paksa terhadap badan hukum dan/atau masyarakat yang tetap tidak mau hadir ketika DPR sudah melayangkan panggilan sebanyak lebih dari tiga kali.

Sebelum revisi, tidak diatur bagaimana cara bagi DPR untuk meminta Polri memanggil paksa badan hukum dan/atau masyarakat yang mangkir dari panggilan Dewan.

“Nah, setelah direvisi, barulah diatur cara pemanggilan paksa itu, yakni DPR harus terlebih dahulu mengirimkan surat tertulis kepada Kapolri dan Kapolri diminta memerintahkan Kapolda untuk melaksanakan pemanggilan dimaksud. Jadi soal “pemanggilan paksa” yang diributkan orang sekarang ini sebetulnya bukan barang baru, sebab ketentuan itu sudah ada sejak UU MD3 disahkan pada tanggal 5 Agustus 2014,” kata dia.

Artinya ketentuan itu sudah berlaku sejak 3,5 tahun lalu. Demikian pula dengan revisi ketentuan ayat (6) soal sanksi penyanderaan bagi badan hukum dan/atau masyarakat yang tetap tidak mau hadir ketika DPR sudah melakukan panggilan paksa.

“Ini pun bukan norma baru. Sudah 3,5 tahun ketentuan itu berlaku sebagai hukum positif. Cuma bedanya, setelah direvisi, ketentuan itu berubah tempat. Sebelumnya masuk dalam ayat (5) dan pascarevisi dimasukkan ke dalam ayat (6),” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid