Sedangkan terkait penambahan ayat baru, yaitu ayat (7), norma itu sekedar memberi penegasan kepada Kapolri agar memasukan klausul tentang “pemanggilan paksa” dan “sanksi penyanderaan” itu ke dalam Peraturan Kapolri atau Perkap yang selama ini belum ada hukum acaranya di institusi Kepolisian.

“Nah, jadi dari sisi kepastian hukum, revisi Pasal 73 UU MD3 sebetulnya bagus, sebab DPR telah memberikan kepastian kepada badan hukum dan/atau masyarakat yang akan dipanggil paksa atau diberikan sanksi penyanderaan. Mereka jadi tahu prosedur hukumnya dan diharapkan dapat terhindar dari perlakuan sewenang-wenang DPR dan Kepolisian yang hendak memanggil paksa dan memberi sanksi penyanderaan kepada mereka,” kata dia.

Namun demikian, walaupun ketentuan tentang pemanggilan paksa dan sanksi penyanderaan terhadap badan hukum dan/atau masyarakat yang diatur dalam revisi Pasal 73 UU MD3 bukanlah ketentuan baru, tetapi tetap saja norma itu mengusik kehidupan masyarakat, sehingga wajar dipersoalkan.

“Hanya saja agak telat mempersoalkannya sebab aturan itu sudah berlaku sejak 3,5 tahun lalu. Saya sendiri berpendapat memang sebaiknya Pasal 73 UU MD3 itu diuji ke Mahkamah Konstitusi agar diperoleh kepastian apakah DPR memiliki wewenang untuk memanggil paksa dan bahkan menyandera masyarakat yang telah memilihnya di Pemilu,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid