Jakarta, Aktual.com – Pengamat militer Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati berpendapat, penanganan terorisme di Indonesia selama ini cenderung masih dalam klasifikasi kejahatan terhadap publik sehingga cenderung ditangani Polri semata.
“Jika terorisme mengancam keselamatan presiden atau pejabat negara lainnya sebagai simbol negara, maka terorisme tersebut menjadi kejahatan terhadap negara dan harus ditanggulangi oleh TNI,” kata Susaningtyas, di Jakarta, Selasa (15/5), menanggapi berbagai aksi teror bom di Surabaya.
Menurut dia, secara akademik militer terkait terorisme menjadi tugas semua bangsa di dunia.
Implikasi pemberantasan atau penanggulangan terorisme oleh militer dan polisi berbeda perspektif hukumnya karena terorisme bisa menjadi kejahatan terhadap negara atau kejahatan terhadap publik. Namun, di Indonesia terorisme masih klasifikasi kejahatan publik, sehingga penanganannya dilakukan oleh polisi.
Begitu juga dengan jenis senjata dan bom yang digunakan oleh teroris masih tergolong konvensional, maka masuk kewenangan Polri.
“Tetapi jika senjata dan bom yang digunakan oleh teroris tergolong senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Deatruction), seperti senjata nuklir, senjata biologi, senjata kimia dan senjata radiasi, maka yang menangani adalah TNI,” ujarnya.
Selain subyek ancaman teror dan jenis senjata, rezim kedaulatan suatu negara juga berimplikasi kepada kewenangan penegakan hukum.
Jika kejahatan teror dilakukan di wilayah kedaulatan penuh Indonesia, maka Polri dan TNI bisa bersama-sama menanggulangi. Tetapi jika rezimnya adalah hak berdaulat, maka TNI yang melakukan aksi penanggulangan, katanya.
Nuning, sapaan Susaningtyas mencontohkan jika kejahatan teror terjadi di kapal yang berlayar di Zone Economic Exclusive (ZEE) Indonesia atau menyerang kilang pengeboran minyak PT Pertamina 15 mil dari pantai, maka teroris harus dilumpuhkan oleh Pasukan Khusus TNI.
Selain itu, platform sebagai Tempat Kejadian Perkara (TKP) apakah kendaraan air (kapal) dan kendaraan udara (pesawat) yang terregistrasi dan berbendera suatu negara.
Dengan beberapa kriteria itu, maka UU Terorisme di Indonesia juga patut mengakomodasi hukum-hukum internasional yang juga berlaku.
“Jadi, UU yang sudah ada sudah memberi amanat dan mandat baik kepada Polri dan TNI. Yang lebih penting adalah bagaimana TNI menjabarkan kewenangan sesuai empat kriteria tersebut ke dalam suatu peraturan yang dapat diterima oleh Polri dan instansi pemerintah lainnya.Yang penting ada kesadaran kita semua untuk menerima nilai dan norma universal dalam hukum internasional untuk menanggulangi terorisme sehingga tidak ada rebutan kewenangan,” paparnya.
“Overlapping” kewenangan bukan untuk dipertentangkan tetapi seharusnya sebagai modal untuk semakin sinergi, ujar Nuning.
Ia menambahkan “Overlapping” hukum internasional dan hukum transnasional harus dilihat dari perspektif kewenangan negara secara individu maupun sebagai secara kolektif untuk penegakan hukum sekaligus penegakan kedaulatan. Terorisme sebagai kejahatan publik dan sebagai kejahatan negara tidak selalu bertumpu pada definisi ICC.
Amerika Serikat membuat Patriot Act untuk mengkategorikan kejahatan terorisme sebagai terorisme. Bukan tindak pidana biasa sehingga tidak dapat didampingi pembela, dan juga bukan tawanan perang sehingga tidak mendapat hak-hak sebagai tawanan.
“Jadi hukum internasional untuk koneksi hukum internasiona dan transnasional menjadi rujukan hukum nasional untuk menanggulangi terorisme berlaku ‘lex specialis derogat lex generalis’,” ucap wanita yang mendalami bidang intelijen ini.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: