Dia menegaskan, nilai proyek pembangunan infrastruktur, baik melalui pembiayaan APBN maupun yang menggunakan APBD sangat besar. Sehingga potensi terjadi perilaku koruptif dari pembangunan infrastruktur program pemerintah sangat terbuka.

“Termasuk pembangunan SPAM di Semarang Barat. Potensi perilaku ini sangat kuat, jika instrumen pengawasan dan penegakan hukumnya tidak kuat,” lanjutnya.

Yusfitriadi menjelaskan, perilaku koruptif itu tidak mungkin tunggal, pasti bersifat konspiratif, apapun bentuk dan modus operandi perilaku koruptif tersebut. Dan, segitiga simpul perilaku koruptif itu yang menjadi mata rantai terjadinya korupsi dalam pembangunan melalui program pemerintah.

Segitiga tersebut, kata dia, adalah Pemerintah, dalam konteks pusat DPR RI yang membidangi dan kementrian yang membawahi, dalam konteks propinsi maupun kabupaten/kota adalah DPRD dan pemerintah.

“Karena merekalah yang merancang dan merencanakan termasuk persetujuan penganggaran. Tentu saja dalam perencanaan ini sudah bisa tercium indikasi perilaku koruptif tersebut, diantaranya dengan kewajaran anggaran, transparansi pembahasan dan akuntabilitas proses penentuan program,” terangnya.

Yang kedua adalah rekanan, atau perusahaan yang mendapatkan lelang untuk mengerjakan proyek tersebut.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin