Lolosnya revisi UU BPK ini mengundang pertanyaan sekaligus kecurigaan. Kecurigaan itu muncul terutama soal urgensi pengakomodasian Revisi UU BPK yang membuat DPR perlu memasukkannya ke dalam daftar Prolegnas Prioritas di penghujung tahun.

“Ketika waktu untuk menuntaskan target legislasi prioritas 2021 akan segera berakhir, apa pentingnya menambah rencana Revisi UU BPK beserta 3 RUU lain? Kalau RUU KUHP, Revisi UU ITE mungkin masih bisa dijelaskan karena di ruang publik pembicaraan terkait RUU-RUU itu kerap dibahas. Begitu juga RUU Pemasyarakatan yang dianggap perlu untuk merespons banyak persoalan terkait kapasitas lembaga pemasyarakatan dan berbagai hal lain. Akan tetapi alasan pada 3 RUU ini sulit ditemukan pada rencana revisi UU BPK,” ujar Lusius dengan nada tanya.

Dia menegaskan, masuknya revisi UU BPK ini begitu mendadak dengan alasan yang juga serba tertutup. Hal ini memunculkan kecurigaan akan adanya kepentingan sepihak dari fraksi-fraksi tertentu di DPR yang berhubungan langsung dengan nasib anggota BPK yang sesuai UU BPK sudah harus mengakhiri jabatan mereka pada April 2022 nanti.

Jika kecurigaan di atas benar adanya, maka revisi UU BPK yang akan dilakukan sungguh akan merusak tatanan kelembagaan BPK.

“Sulit membayangkan bagaimana sebuah UU diutak-atik hanya untuk menyalurkan nafsu dan kepentingan kelompok dan orang-orang tertentu saja,” tegasnya.

Meski sudah habis jabatannya, Agung Firman tampaknya belum mau lengser. Dia terus melobi pimpinan Partai Golkar untuk mempercepat pembahasan revisi RUU BPK ini. Bahkan pimpinan Fraksi Golkar mengundang para fraksi-fraksi DPR untuk melakukan lobi guna mempercepat revisi RUU BPK ini.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin