Jakarta, Aktual.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan dinilai penting dalam mendukung proses transisi energi di Tanah Air. RUU ini diyakini dapat mendorong transisi energi namun dengan catatan pasal mengenai power wheeling tidak dimasukkan.
“Untuk Indonesia sendiri, menurut kami proses transisi energi menjadi penting dan undang-undang energi baru terbarukan ini menjadi sebuah payung hukum untuk melakukan proses transisi dan tentunya tanpa memasukkan pasal power wheeling,” kata peneliti tambang dan energi Alpha Research Database Indonesia, Ferdy Hasiman, dalam diskusi Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI bertajuk RUU EBT untuk Pengembangan ‘Energi Baru Terbarukan Adil dan Berkelanjutan’ di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 13 Juni 2023.
Dia optimistis RUU EBT akan mempermudah proses transisi yang kerap digaungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ferdy juga menilai draft RUU EBT saat ini tanpa memasukkan pasal power wheeling merupakan keputusan tepat dari pemerintah.
“Karena itu sebagai masukan saja, saya titipkan supaya wacana Power Wheeling di komisi VII harus dipastikan ditolak,” ujar dia.
Oleh karena itu harus menjadi perhatian dari teman-teman DPR jangan sampai Power Wheeling masuk ke dalam RUU EBT, karena ini akan mengarahkan ke liberalisasi sektor kelistrikan dan itu akan melanggar undang-undang nomor 30 tentang kelistrikan.
“Kami melihat ada beberapa pasal yang dimasukkan oleh pemerintah, tapi itu sudah dicabut kembali di pasal 29 dan 47. Jadi itu harus diperhatikan soal Power Wheeling, karena listrik yang dihasilkan oleh perusahaan swasta itu bisa dijual langsung ke masyarakat,” jelasnya.
PLN nanti hanya bertugas sebagai penyedia jaringan, jadi ini sangat berbahaya untuk sektor kelistrikan kita. Selama ini PLN ditugaskan oleh konstitusi untuk mengamankan kelistrikan nasional dan kita tidak perlu risau kemampuan PLN. Bahkan sekarang PLN sudah melakukan banyak upaya mengakselerasi pembangunan pembangkit energi baru terbarukan.
Dia menyampaikan kondisi yang membuat Indonesia membutuhkan RUU EBT. Pertama, produksi minyak nasional Tanah Air setiap hari hingga setiap tahunnya semakin menurun.
Ferdy mencatat dari 2002 produksi minyak Indonesia masih di atas satu juta barel per hari. Namun, seiring waktu produksi terus di bawah 700 ribu barel per harinya.
“Jadi kita ini membutuhkan BBM setiap hari itu di angka 1,4 juta barel per hari dan itu yang membuat kita impor, akibat tarik impor ini hampir 50 persen, 50 persen itu kita impor minyak dari luar,” ucapnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano