Jakarta, aktual.com – Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Vunny Wijaya, mengapresiasi langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan tetapi mendesak peninjauan ulang besaran tarif tersebut.
“Bagaimanapun kenaikan iuran juga harus memperhatikan faktor lain seperti kondisi ekonomi terkait inflasi dan taraf hidup penerima bantuan,” kata Vunny dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (4/9).
Dia mengatakan pemangku kepentingan harus mempertimbangkan secara cermat besaran iuran tersebut. Dengan kata lain, pengambilan keputusan harus sejalan dengan prinsip penyelenggaraan BPJS Kesehatan, yaitu kehati-hatian yang berarti prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman dan tertib.
Sebelumnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengusulkan besaran iuran BPJS Kesehatan Mandiri kelas I yaitu Rp120 ribu, kelas II menjadi Rp80 ribu dan kelas III menjadi Rp42 ribu.
Komisioner DJSN, Achmad Ansori pada 27 Maret mengatakan pada dasarnya hitungan itu berasal dari biaya unit, harga pelayanan dan nilai rasio kunjungan, kemudian diproyeksikan dan dihitung dengan banyak formula.
Menurut Vunny, usulan DJSN layak untuk dijadikan pertimbangan dan memang menjadi kebutuhan mendesak mengingat polemik defisit BPJS. Namun, besaran kenaikan iuran juga harus tetap dicermati khususnya besaran iuran kelas I yang naik hingga Rp40 ribu.
Bagi iuran kelas III, kata dia, jumlah besarannya masih tergolong rendah dibanding Vietnam dengan tarif terendahnya yaitu sebesar 2,7 dolar AS atau sekitar Rp38 ribu sehingga iuran diharapkan naik.
Vunny merujuk pada National Healthcare Insurance (NHI) Taiwan yang mengalami defisit di akhir tahun 2017. Taiwan kini sedang mempertimbangkan kenaikan tarif dengan tetap memperhatikan prediksi biaya kesehatan di tahun-tahun berikutnya.
Pejabat berwenang Taiwan, kata dia, akhirnya mempertimbangkan kenaikan iuran sekitar 21,32 persen yang rencananya akan diterapkan mulai tahun 2021.
“Peningkatan 21,32 persen tersebut yang diusulkan untuk tahun 2021 rencananya akan diikuti dengan kenaikan 6,34 persen pada 2024, dan 13,06 persen setiap tiga tahun setelah itu,” kata dia.
Dengan kata lain, lanjut dia, belajar dari Taiwan maka Indonesia bisa belajar mengenai pertimbangan besaran tarif yang harus dipikirkan dalam jangka panjang karena jumlah peserta dari tahun ke tahun meningkat berikut dengan biayanya.
Selain itu, dia mengatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan harus diiringi dengan peningkatan pelayanan fasilitas dan BPJS Kesehatan itu sendiri, dalam hal ini terkait dengan perbaikan administrasi termasuk manajemen keuangan, sistem monitoring dan evaluasi serta peningkatan mutu tenaga kesehatan.
Beberapa waktu lalu BPJS Kesehatan telah menandatangani nota kesepahaman dengan The Health Insurance Review And Assessment Service (HIRA) Korea Selatan terkait kerja sama di bidang asuransi kesehatan sosial.
Berdasarkan ruang lingkupnya, nota kesepahaman itu di antaranya meliputi pengembangan sistem klaim digital dan pengembangan sistem pembayaran kepada penyedia layanan.
“Kerja sama yang akan dilakukan dengan HIRA tersebut diharapkan dapat mengena pada prioritas masalah, khususnya manajemen pengelolaan sehingga pelayanan terhadap peserta dapat diitingkatkan. Dengan demikian, hal ini juga dapat memperbaiki penyelenggaranan program jaminan kesehatan di Indonesia,” katanya.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin