Pengampunan pajak di berbagai negara sebetulnya adalah program yang bertujuan baik. Namun, RUU Pengampunan Pajak bisa menjadi kontroversial, ketika mencakup pengampunan pajak bagi para pelaku korupsi.
Rencana Presiden Joko Widodo untuk segera menggolkan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) ke DPR-RI memicu munculnya pro dan kontra. Sejatinya, tujuan dan target dari pengampunan pajak itu masuk akal. Untuk menggenjot program infrastruktur dibutuhkan banyak dana, sementara APBN yang ada tidak mencukupi. Maka pemerintah harus putar otak dan mencari terobosan untuk mengisi kesenjangan anggaran tersebut.
Banyaknya dana milik warga negara RI yang diparkir atau lebih tepat “disembunyikan” dan “diamankan” di luar negeri memberi ide. Yakni, bagaimana agar dana yang selama ini menganggur itu bisa dipulangkan ke Tanah Air dan dimanfaatkan. Karena berbagai pertimbangan, pemilik dana –yang selama ini tidak membayar pajak atas dananya tersebut– enggan membawa pulang dananya ke Indonesia.
Presiden Jokowi dan tim ekonominya harus memberi insentif tertentu, untuk “membujuk” mereka agar mau memulangkan atau merepatriasi dananya ke Indonesia. Nah, insentif itu adalah pengampunan pajak.
Pengampunan pajak (tax amnesty) adalah peluang dalam waktu terbatas bagi sekelompok tertentu pembayar pajak, untuk membayar sejumlah yang ditentukan, sebagai pertukaran bagi pemaafan atas beban pajak tertentu (termasuk bunga dan sanksi) berkaitan dengan periode atau periode-periode pajak sebelumnya, tanpa perlu mengkhawatirkan tuntutan hukum.
Pengampunan pajak ini biasanya habis masa berlakunya ketika beberapa otoritas memulai investigasi pajak dari pajak sebelumnya. Dalam sejumlah kasus, legislasi yang menawarkan pengampunan juga menerapkan hukuman yang lebih keras terhadap mereka yang layak memperoleh pengampunan tetapi tidak mau memanfaatkan peluang itu.
Bukan Hal yang Luar Biasa
Pengampunan pajak pada dasarnya bukanlah hal yang luar biasa. Beberapa negara telah melakukannya. Mereka bukan negara-negara sedang berkembang atau negara terbelakang, tetapi negara-negara yang sistem keuangannya sudah tergolong maju.
Australia telah melakukan pengampunan pajak dua kali, pada 2007 dan 2009. Sedangkan Portugal melakukan hal yang sama pada 2005 dan 2010. Di Jerman, pada 2004 diberikan pengampunan pajak dalam hubungan dengan kasus penghindaran pajak. Pada 2003, Afrika Selatan memberlakukan Exchange Control Amnesty And Amendment of Taxation Laws Act, juga sebuah pengampunan pajak.
Sedangkan parlemen Belgia pada 2004 mengesahkan undang-undang, yang memungkinkan individu yang terkena pajak pendapatan Belgia untuk meregulasikan aset-aset yang tidak dipajaki atau tidak dideklarasikan, yang mereka kuasai sebelum 1 Juni 2003.
Di Yunani, pengampunan pajak ditawarkan bukan hanya pada segelintir orang kaya, tetapi pada jutaan warga. Pada 30 September 2010, parlemen Yunani meratifikasi legislasi yang didesakkan oleh pemerintah, dalam upaya meningkatkan pendapatan. Legislasi ini menjanjikan pengampunan pajak bagi jutaan warga Yunani, dengan cukup membayar 55 persen dari tunggakan pajak mereka. Namun pada 2011, Komisi Eropa meminta Yunani memodifikasi peraturan pajaknya, karena pengampunan pajak yang dilakukan itu dianggap bersifat diskriminatif dan tidak cocok dengan perjanjian-perjanjian Komisi Eropa.
Sementara itu, Italia memperkenalkan pengampunan pajak pada 2001, yang kemudian dikenal sebagai Scudo Fiscale (Perisai Pajak), yang diperpanjang pemberlakuannya sampai 2003. Pada 2009, pengampunan pajak Italia memberlakukan pajak rata (flat) 5% terhadap aset-aset yang direpatriasi (dimasukkan kembali dari luar negeri ke Italia). Dengan total aset sekitar 80 miliar euro yang dideklarasikan, pengampunan pajak menghasilkan pendapatan pajak sebesar 4 miliar euro. Bank of Italy memperkirakan, warga Italia memegang sekitar 50 miliar euro dalam dana-dana yang tidak dideklarasikan di luar negeri.
Rusia, Spanyol, dan Amerika Serikat
Pada 2007, sebuah program pengampunan pajak di Rusia berhasil mengumpulkan 130 juta dollar AS pada enam bulan pertama. Program pengampunan pajak di Rusia ini tidak terbuka terhadap setiap orang, yang sebelumnya telah terbukti melakukan kejahatan-kejahatan perpajakan, seperti penghindaran pajak.
Pada 2012, Menteri Ekonomi dan Daya Saing Spanyol, Cristobal Montoro, mengumumkan pengampunan terhadap penghindaran pajak, untuk aset-aset yang tidak dideklarasikan atau aset yang disembunyikan di kawasan atau negara-negara yang menjadi surga pajak (tax haven). Repatriasi akan diizinkan dengan membayar 10 persen pajak, dengan tanpa hukuman kriminal.
Kalau di Amerika Serikat, lain lagi. Pada 2009, pengampunan pajak federal AS diberikan kepada lebih dari 14.700 pembayar pajak AS. Banyak negara bagian di AS melakukan pengampunan pajak. Kota Los Angeles mengumpulkan 18,6 juta dollar AS dalam program pengampunan pajak 2009, dan mengklaim bahwa angka itu lebih besar 8,6 juta dollar AS dari yang semula diharapkan, dan bahwa kalangan bisnis menghemat 6,7 juta dollar AS dalam bentuk sanksi-sanksi.
Negara bagian Louisiana menghasilkan 450 juta dollar AS dari program pengampunan pajak 2009. Angka ini tiga kali lipat lebih besar dari yang semula diperkirakan, menurut Gubernur Bobby Jindal dari Partai Republik.
Pada 2007, rancangan undang-undang dari Senat AS –yang tidak jadi disahkan sebagai undang-undang– mengusulkan pengampunan pajak bagi imigran ilegal. Pengampunan pajak itu didukung oleh George W. Bush, yang waktu itu menjabat Presiden AS, dan Menteri Keamanan Dalam Negeri (Homeland Security) Michael Chertoff.
Komisioner IRS (badan perpajakan AS) Doug Shulman pada 26 Juni 2012 menyatakan, program-program pengungkapan sukarela IRS terhadap dana-dana warga yang disimpan di luar negeri, sejauh itu telah menghasilkan lebih dari 5 miliar dollar AS. Angka sebesar itu berasal pajak yang akhirnya dibayarkan, bunga, dan sanksi (penalties), dari 33.000 pengungkapan sukarela, yang dilakukan di bawah dua program pertama.
Kontroversi Soal Korupsi
Pengampunan pajak, yang awalnya berniat baik, ternyata juga menyimpan bibit-bibit kontroversi. Hal ini disebabkan individu-individu yang tercakup dalam program tersebut bukan cuma mantan penghindar pajak, tetapi bisa jadi mereka adalah pelaku korupsi yang menyimpan aset hasil korupsinya di luar negeri.
Di satu sisi, pemerintah Jokowi mengklaim serius memberantas korupsi. Namun di sisi lain, lewat RUU Pengampunan Pajak tersebut, secara de facto (dan lalu de jure), pemerintah memberi peluang bagi para pelaku korupsi untuk menyelamatkan diri dari tuntutan hukum. Lantas, bagaimana publik harus memposisikan pengampunan pajak ini dalam konteks komitmen untuk membentuk pemerintahan dan sistem yang bersih, transparan, dan akuntabel.
Guru Besar Perpajakan UI, Haula Rosdiana, berpendapat, tidak adanya definisi yang umum diberlakukan tentang tax amnesty, membuat pengampunan pajak mempunyai arti yang berbeda, sesuai dengan negara dan waktu saat pengampunan pajak diberlakukan.
Menurut Rosdiana, penerapan tax amnesty juga akan mencederai keadilan dan melemahkan penegakan hukum. Karena tidak adanya payung hukum yang mengatur, target operasi yang disasar aparat penegak hukum berpotensi lepas. “Penerapan tax amnesty harus terfokus pada pengampunan pidana pajak, dan tidak diperluas dengan penghapusan pidana lainnya, seperti: pidana korupsi, pencucian uang, dan kejahatan lainnya di sektor industri,” ujar Rosdiana.
Sedangkan Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso menegaskan, jika kebijakan tax amnesty diberlakukan, hal ini akan kontraproduktif bagi Indonesia di mata dunia. Ini bisa menimbulkan kesan bahwa pemerintah berusaha melegalkan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), padahal Indonesia sudah dikeluarkan dari daftar hitam dunia pencucian uang oleh FATF (Financial Action Task Force).
Pemberlakuan tax amnesty juga akan merusak upaya pengejaran aset penjahat keuangan yang telah dibangun PPATK, karena tidak sedikit terpidana korupsi kelas kakap yang menaruh dana korupsinya di luar negeri, di negara-negara yang menjadi “surga pajak.”
Kaitan dengan kemungkinan para koruptor memanfaatkan celah RUU Pengampunan Pajak untuk “memutihkan” hasil kejahatannya, patut menjadi catatan bagi para anggota DPR-RI. Pertengahan Juni 2016 ini, mereka dijadwalkan akan membahas RUU tersebut, dengan target pada Juli 2016 sudah bisa diberlakukan. ***
Artikel ini ditulis oleh: