Jakarta, Aktual.co —Keinginan Pemprov DKI agar tarif parkir bagi pengendara motor yang terdampak kebijakan pelarangan motor menjadi hanya Rp2.000 seharian, ditolak pengelola parkir Gedung Sarinah, Jakarta Pusat.
Saat dihubungi, Kamis (18/12), Hifdi Ahmad selaku pengelola parkiran Sarinah, mengaku keberatan dengan permintaan Pemprov DKI.
“Gak bisa lah mbak. Kalau dibuat murah, karyawan mau makan apa? Kami menggaji pegawai pakai apa?” ujarnya.
Lagipula, kata dia, permintaan agar tarif parkir hanya Rp2.000, dianggapnya hanya menguntungkan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama saja yang membuat kebijakan pelarangan motor. Tanpa memikirkan nasib swasta yang mengelola parkiran.
“Ini keuntungan buat dia saja (Ahok), lalu buat kami apa? Harus ada timbal baliknya dong,” ucap dia.
Dia pun menyarankan Pemprov DKI mengkaji kembali rencana penetapan tarif parkir tadi. Karena dianggap akan merugikan mereka, sebagai pihak swasta pengelola parkir.
Gubernur Ahok memang mengatakan akan mengevaluasi ujicoba pelarangan sepeda motor yang sudah digelar sejak Rabu (17/12) kemarin. Salah satunya soal tarif parkir. Harga tiket bagi para pengendara motor yang terdampak, akan dievaluasi.
“Bayarnya misalkan Rp 2.000 untuk seharian,” ujarnya di Balai Kota, Kamis (18/12).
Namun penerapan itu akan disinkronisasikan dengan penerapan e-money untuk bus tingkat gratis. Pasalnya banyak pengendara motor yang menitipkan motornya namun tidak menaiki bus gratis.
“Jadi nanti bayarnya segitu, tapi harus punya e-money. Bus tetep gratis, tapi harus tetap tapping pakai e-money,” ujarnya.
Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pengendara motor untuk parkir memang sudah muncul. Salah satunya dilontarkan Simanjuntak (36). Pengendara motor ini mengaku pengeluarannya jadi bertambah akibat peraturan pelarangan motor melintas jalan protokol. Lantaran dia harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk bayar parkir.
Simanjuntak mengaku memarkirkan motor di parkiran Sarinah. “Parkir satu jam Rp2.000. Kalau delapan jam sudah Rp16.000. Duit lagi kan harus keluar. Belum buat bensin,” ujar dia kesal, saat ditemui Aktual.co, Kamis (17/12).
Keluhan juga dilontarkan oleh Uchok Sky Khadafi. Sebagai pengguna motor, peneliti anggaran dari Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) itu menilai yang diuntungkan dari kebijakan itu adalah para pemilik lahan parkir swasta.
“Bisnis parkir itu sangat empuk, enak buat pemilik lahan parkir. Jadi motor sebagai objek buat mereka dan itu keuntungannya ga masuk ke kantong DKI kan ya,” ujar dia, saat dihubungi Aktual.co beberapa waktu lalu.
Merasa dianaktirikan, dengan pelarangan itu Uchok mengaku ruang geraknya jadi terbatas. Belum lagi soal efesiensi waktu. “Karena kalau pakai bus atau mobil umum kan waktu perjalanan jadi tidak bisa ditebak. Kalau naik motor kita bisa menebak misal sampai tempat tujuan dalam berapa menit,” ucap dia.
Serupa dengan yang dilontarkan Simanjuntak, menurut Uchok, peraturan ini juga membuat membengkaknya biaya transportasi masyarakat pengguna motor untuk sampai tujuan.
“Kalau kita naik bus Transjakarta kan harus nambah ongkos. Lebih mahal ketimbang naik motor. Kelihatannya peraturan ini dipaksakan Ahok (Gubernur DKI) agar masyarakat kelas menengah menyingkir dari pusat kota. Sama seperti naiknya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), bisa jadi pelarangan motor ini model penjajahan baru,” tudingnya.
Artikel ini ditulis oleh:

















