RAPBN 2016 (Aktual/Ilst.Nelson)

Jakarta, Aktual.com — Analis Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Kusfiardi mendesak agar Badan Anggaran (Banggar) bisa lebih kritis dan tidak terburu-buru dalam membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 yang diusulkan Pemerintah. Pasalnya, apa yang diusulkan tersebut dinilai sangat tidak realistis serta tidak mengandung terobosan-terobosan terhadap kemandirian bangsa.

“Saya mendorong parlemen menolak. Karena tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Mencederai janji politik kampanye,” kata Kusfiardi kepada Aktual di Jakarta, Kamis (22/10).

Lebih lanjut, dirinya juga mewanti-wanti adanya imingan menggiurkan dari Pemerintah kepada anggota Banggar DPR supaya RAPBN 2016 ini bisa segera disahkan sebelum Presiden Joko Widodo ke AS yang direncanakan pada 23 Oktober 2015. Sementara tenggat waktu pembahasan ini sendiri masih tersisa sepekan ke depan hingga 30 Oktober 2015.

“Itu biasanya modus pemerintah untuk meloloskan, di satu sisi yang harus kita liat adalah itu disusun dengan bergantung pada kondisi global dan kondisi negara-negara maju. Terkesan tidak ada keseriusan dari Pemerintah,” ungkapnya.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah pun membenarkan kabar adanya pihak atau kepentingan tertentu di Parlemen yang menginginkan pembahasan RAPBN 2016 segera selesai. Bahkan mereka menjanjikan paripurna 22 Oktober 2015 RUU RAPBN 2016 akan disahkan menjadi UU APBN 2016.

“Pembahasan Panja Belanja Pusat dan Daerah akan selesai dalam pekan ini. Ada keinginan dari pihak tertentu agar RAPBN 2016 segera disahkan. Padahal batas akhirnya 30 Oktober 2015, sedangkan Presiden Jokowi akan ke Amerika tanggal 23 Oktober,” ujar Fahri.

Perginya Jokowi ke Amerika mengundang pertanyaan terkait deal-deal penting termasuk soal perpanjangan kontrak PT. Freeport. Bahkan pembahasan RAPBN 2016 cenderung berlangsung lambat dan kurang dinamis sebagaimana pembahasan-pembahasan APBN pada periode sebelumnya.

“Seharusnya DPR sekarang khususnya Banggar lebih kritis. Sebab sejak APBNP 2015, pemerintah Jokowi-JK banyak diberi kemudahan. Pemerintah mengajukan perubahan asumsi makro akibat kondisi perlambatan ekonomi domestik dan depresiasi mata uang rupiah yang tajam,” jelasnya.

Selain itu, pemerintah juga merevisi target pertumbuhan dari 5.5% menjadi 5.2%, menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dari Rp13.400 menjadi Rp13.900.

“Adanya perubahan asumsi tersebut, seharusnya pemerintah melakukan perubahan terhadap proposal anggaran yang sudah disampaikan sebelumnya,” jelasnya.

Dirinya menilai realisasi penerimaan sektor perpajakan sampai dengan 31 Agustus 2015 baru mencapai 46%. Maka usulan target penerimaan sektor perpajakan 2016 sebesar Rp1.564,7 tidak realistis.

Terkait dengan pembahasan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga tidak digali secara mendalam, banyak Kementerian dan Lembaga (K/L) yang belum mengoptimalkan PNBP. Postur RAPBN 2016 yang dihasilkan pun kurang maksimal dengan beberapa catatan. Pertama, penerimaan negara menurun dari Rp1.848,10 triliun menjadi Rp1.822,5 triliun. Kedua, belanja negara berkurang dari Rp2.121,3 triliun menjadi Rp2.095,7 triliun.

“Dengan defisit menjadi 2,15%. Belanja K/L tetap meningkat dari Rp780 triliun menjadi Rp784 triliun. Tetapi pemerintah melakukan kebijakanpenundaan belanja K/L sebesar Rp 21,3 triliun. Ini menjadi masalah,” jelasnya.

Seharusnya Banggar DPR RI, lanjutnya, memberikan catatan yang kuat, dan merevisi hal tersebut.

“Selain itu, PMN kurang mendapat tanggapan dari Banggar DPR-RI. Banyak catatan yang seharusnya disampaikan. Kecenderungan ekspansi Menteri Rini Soemarno perlu dicermati. Jangan sampai jadi beban di masa depan,” pungkasnya.

Seperti diketahui, Presiden Jokowi sangat mengandalkan Meneg BUMN Rini Soemarno dalam fund rising. Jangan lupa bahwa Menteri Rini juga menggarap deal-deal BUMN dengan China. China juga menunggu postur APBN 2016. Dengan dua sayap pencari dana dan dukungan politik ini, nyaris Jokowi tidak memerlukan politik senayan. Itulah sebabnya senayan mudah dilumpuhkan.

 

Artikel ini ditulis oleh:

Eka