Pakar perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menambahkan, untuk mencegah penghindaran pajak dari pabrikan rokok asing, maka perlu dibuat aturan yang ketat. “Tax avoidance itu menghilangkan hak masyarakat lain untuk mendapatkan pelayanan publik yang dibiayai dari pajak. Tetapi, semua kebijakan jangan dirumuskan tiba-tiba sehingga sering menimbulkan guncangan di industri,” paparnya.

Dia mengatakan, sudah saatnya para stakeholder duduk bersama untuk membahas persoalan tersebut. Diantaranya, pengusaha tembakau, pabrikan besar dan kecil, supplier cengkeh dan lainnya. “Sebenarnya yang paling pas adalah kebijakan simplifikasi. Karena kalau arahnya industri tembakau mudah diawasi ya dibikin simple saja. Memang harus ada waktu untuk menerimanya karena industri tidak serta merta bisa menyesuaikan harus ada persiapan,” terangnya.

Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) Abdillah Ahsan menilai, kebijakan penggabungan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) perlu direalisasikan karena pabrikan rokok selama ini telah menikmati tarif cukai murah. “Pengusaha rokok yang protes adalah mereka yang diuntungkan dari kebijakan saat ini. Mereka membayar cukai lebih murah padahal sama-sama menjual rokok yang menyakiti dan tidak banyak menyerap tenaga kerja,” kata Abdillah.

Sebab, produksi juga dilakukan dengan menggunakan mesin tidak menggunakan tenaga manusia. “Kalau menggunakan tenaga manusia dan membuka lapangan kerja tidak masalah menolak. Ini kan sama-sama menggunakan mesin, kok menolak,” tegasnya.

Abdillah menyadari pabrikan rokok menolak penggabungan batasan produksi SKM dan SPM karena khawatir mereka tidak akan bisa lagi membayar tarif cukai murah. Dengan penggabungan tersebut, pabrikan yang memiliki volume produksi segmen SKM dan SPM di atas tiga miliar batang harus membayar tarif cukai golongan I pada kedua segmen tersebut.

“Tentu saja yang menolak, menikmati keuntungan dari sistem saat ini yang tidak rasional dijalankan. Kebijakan yang tidak efisien ini juga mendorong rokok ilegal karena jumlah layer tarif cukai banyak sehingga peluang rokok ilegal tipe salah personifikasi meningkat,” ucap dia.

Jika penggabungan batasan produksi SKM dan SPM tidak segera direalisasikan, Abdillah khawatir angka perkokok di Indonesia akan terus meningkat lantaran semakin murah dan mudahnya rokok dijangkau oleh masyarakat.

“Semangat penggabungan SKM dan SPM untuk mengurangi perbedaan harga rokok sehingga konsumen tidak bisa beralih ke rokok murah, pada saat harga rokok naik. SKM dan SPM sama-sama buruk untuk kesehatan, sepatutnya digabung,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh: