Kepala Riset Lembaga Survei KedaiKOPI, Ashma Nur Afifah saat memaparkan kecenderungan masyarakat beralih menggunakan paylater di Jakarta, Selasa (28/10/2025). Foto: Nur Aida Nasution/Aktual.com

Jakarta, Aktual.com – Masyarakat kelas menengah Indonesia menunjukkan perubahan terarah dalam perilaku keuangan sepanjang tahun 2025. Kepala Riset Lembaga Survei KedaiKOPI, Ashma Nur Afifah, mengatakan pola konsumsi kini lebih rasional akibat tekanan ekonomi yang meningkat.

Menurutnya, perilaku konsumsi masyarakat kelas menengah kini dipengaruhi berbagai faktor yang kompleks dan saling terkait. “Tiga faktor utama yang memengaruhi perilaku konsumsi adalah literasi keuangan, e-commerce, dan kondisi rumah tangga,” ujar Asma saat pemaparan di Lembaga Survei KedaiKOPI, Jakarta, Selasa (28/10/2025).

Penggunaan fitur paylater semakin meluas di kalangan masyarakat kelas menengah sepanjang 2025. Ia menilai, fenomena ini menandakan kepraktisan digital mulai menggantikan kebiasaan menabung yang dulu menjadi prioritas finansial.

Ashma menjelaskan, meski paylater memberi kemudahan, risiko finansial jangka panjang tetap membayangi pengguna yang kurang paham pengelolaan utang. “Banyak pengguna belum memahami konsekuensi bunga dan keterlambatan pembayaran,” jelasnya.

Ia menilai, literasi keuangan akan menentukan apakah masyarakat dapat tetap sejahtera atau justru terjebak utang melalui paylater. Keseimbangan antara konsumsi dan perencanaan keuangan jangka panjang menjadi perhatian utama literasi finansial.

“Kelas menengah memiliki peran penting menjaga stabilitas ekonomi, tetapi perilaku konsumtif digital perlu dikendalikan,” kata Ashma.

Lebih lanjut, kenaikan harga kebutuhan pokok dan cicilan rumah tangga menjadi tekanan nyata bagi masyarakat kelas menengah.

Meski begitu, berdasarkan data survei KedaiKOPI yang dilakukan secara online, sebanyak 61,4 persen responden masih memilih tabungan dan deposito sebagai bentuk investasi utama mereka.

Menurutnya, hal ini menggambarkan, kelas menengah cenderung mengutamakan keamanan finansial dibanding peluang berisiko tinggi, seperti aset digital.

Laporan: Nur Aida Nasution

Artikel ini ditulis oleh:

Eroby Jawi Fahmi