Jakarta, Aktual.com — Prosesi penggusuran lahan warga di kawasan Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, dianggap tak ubahnya pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta pada 2014 silam.
“Karena keduanya merujuk pada UU No. 2/2012 dan Perpres No. 71/2012 yang telah diubah menjadi Perpres No. 40/2014 terkait pembelian lahan untuk kepentingan publik,” ujar Direktur Eksekutif Jakarta Public Service (JPS), M Syaiful Jihad, kepada Aktual.com, Selasa (3/5).
Kedua kebijakan tersebut, imbuhnya, sama-sama melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Sehingga, wajar bila kedua-keduanya berpolemik,” jelasnya.
Sebab, menurut eks aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini, penerapan empat tahapan pembelian lahan kedua kebijakan itu tidak jelas pada tahap realisasi sejak perencanaan hingga penyerahan hasil.
Lebih jauh, Syaiful menerangkan, untuk melakukan pembebasan lahan milik warga Luar Batang atau dimanapun itu demi kepentingan publik, sejatinya harus memiliki surat keputusan gubernur (kepgub). Didalamnya, dipaparkan rencana pembangunan kelak.
“Tapi, sampai sekarang, Pemprov DKI mengaku belum memiliki gambaran jelas di sana mau dibuat apa saja secara detail. Yang ada, cuma konsep akan ada plaza,” paparnya.
Kepgub tersebut dikeluarkan setelah melakukan tahapan perencanaan dan persiapan.
Pada tahap perencanaan, kata alumnus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini, Pemprov DKI pun tidak transparan. Misalnya, membuka dokumen studi kelayakan meliputi survei sosial ekonomi, kesesuaian lokasi, analisa biaya dan manfaat pembangunan bagi masyarakat, perkiraan nilai tanah, dampak lingkungan dan sosial yang mungkin timbul, serta studi lain yang diperlukan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Perpres No. 71/2012.
“Studi kelayakan tadi, merupakan penjelasan atas tentang apa saja yang harus dilakukan pemerintah pada tahap perencanaan. Dan pada Pasal 7 dijelaskan, dokumen perencanaan ditetapkan pimpinan instansi yang memerlukan tanah dan telah disampaikan kepada gubernur,” tutur Syaiful.
“Karenanya, keterlibatan sekda juga dipertanyakan, karena baik menurut UU No. 2/2012 maupun Perpres No. 71/2012, secara jelas menyatakan, bahwasanya yang lebih berperan aktif adalah instansi yang memerlukan tanah. Sekda butuh tanah untuk apa?” imbuhnya heran.
Syaiful mengingatkan, UU No. 2/2012 dan Perpres No. 71/2012 seharusnya dipedomani Pemprov DKI dalam kebijakan ini. Sebab, setiap kepala daerah diwajibkan menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan. “Sesuai Pasal 67 UU No. 23/2014,” tukasnya.
Artikel ini ditulis oleh: