Petugas Satpol PP dibantu alat berat mulai menghancurkan rumah warga Bukit Duri di Jakarta, Rabu (28/9/2016). Penertiban terhadap bangunan di bantaran Kali Ciliwung ini dilakukan Pemrov DKI Jakarta untuk mengembalikan fungsi sungai.

Jakarta, Aktual.com – Pengamat perkotaan, Yayat Supriyatna mengatakan penggusuran paksa yang terjadi dalam dua tahun belakangan tidaklah berbeda dengan praktik penggusuran yang terjadi pada era tahun 2000-an. Hal ini disebabkan karena cara pandang pemerintah DKI yang terlalu kaku.

“Pendekatan yang dipakai hanya dilihat dari de jure, yaitu aspek hukum. Padahal secara de facto masyarakat yang tergusur telah hidup di situ selama puluhan tahun,” ungkap Yayat kepada Aktual di Jakarta, Senin (2/1).

Penggusuran paksa, menurut Yayat, tidak akan hilang jika Pemerintah DKI masih menggunakan cara pandang kaku yang hanya melihat masyarakat sebagai objek pembangunan. Padahal menurutnya, ada banyak cara yang dapat dilakukan tanpa harus melakukan tindakan represif dalam menggusur masyarakat.

“Penggusuran bukan satu-satunya solusi. Pemerintah DKI seharusnya lebih membuka diri terhadap dialog dengan masyarakat,” tegas Yayat.

Dari data yang dikeluarkan oleh LBH Jakarta, sebanyak 113 lokasi telah digusur pada 2015. Sedangkan untuk 2016, terdapat 325 lokasi yang menjadi target penggusuran.

Sebelum tahun 2012, penggusuran dianggap sebagai salah satu dosa Pemerintah DKI Jakarta. Hal ini menjadi sorotan karena saat itu penggusuran yang terjadi dilakukan dengan represif. Sampai saat ini, penggusuran paksa pun tidak hilang begitu saja di Jakarta. Tahun 2016 pun diramaikan dengan beberapa praktik penggusuran Kalijodo dan Bukit Duri.

(Laporan: Wildan)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka