Petugas mengisi bahan bakar jenis premium di SPBU, Jalan Hang Lekir, Senayan, Jakarta Selatan, Minggu (28/1/2018). Keluhan masyarakat akan sulitnya mendapat Premium bukan perihal baru. Masalah ini sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir, sejak kebijakan Presiden Joko Widodo mencabut subsidi pada minyak Ron 88 itu. Persoalan inilah yang disinyalir menjadi pemicu tindak ‘kecurangan’ Pertamina kepada Masyarakat dengan modus mengurangi suplai Premium di SPBU. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, aktual.com – Indonesia sudah komitmen menekan emisi karbon dalam Perjanjian Paris Tahun 2015, sayangnya bahan bakar minyak (BBM) ron rendah, seperti Premium, saat ini masih banyak dikonsumsi masyarakat. BBM ron rendah seperti Premium, diketahui bahaya bagi lingkungan juga tak bagus bagi mesin kendaraan. Merusak lapisan ozon, juga kendaraan tak prima.

Karena itu, pemerintah perlu terus mendorong agar masyarakat menggunakan bahan bakar ramah lingkungan, dengan ron tinggi. Apalagi, standar EURO4 saat ini sudah menjadi acuan gas buang bagi kendaraan bermotor.

Iwa Garniwa, Guru Besar Universitas Indonesia yang juga Rektor IT PLN menyampaikan, penghapusan BBM ron rendah memang mendesak, namun harus tepat momentumnya. Nah, saat ini, di tengah tren masih terjadi penurunan harga minyak, dimana harga minyak dunia belum kembali ke titik tertinggi, kebijakan tersebut bisa diambil oleh pemerintah.

“Menurut saya sekarang inilah saatnya, tapi digantikan dengan nama, misalnya Premium Ramah Lingkungan dengan harga yang tidak berubah mengingat harga minyak dunia sedang turun. Secara tidak langsung masyarakat dipaksa untuk merubah konsumsi BBM nya pada BBM ramah lingkungan,” ujar Iwa, kepada media, Rabu (29/7).

Iwa mengingatkan, dampak buruk Ron rendah selama ini diasumsikan tidak terlalu terlihat pada kendaraan dengan teknologi lama yang masih banyak di Indonesia, bahkan di jakarta. Namun pada lingkungan akan menambah polusi udara khususnya di perkotaan. Persoalan polusi kendaraan ini akan menjadi bom waktu di masa depan, sehingga perlu diambil kebijakan radikal.

Sementara itu, Permen LHK No. 20/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor, yang mensyaratkan standar emisi EURO4, bisa saja diterapkan namun tidak di semua daerah kota mengingat ada persoalan daya beli berbeda. Ada daerah memiliki daya beli tinggi ada rendah, juga intensitas masing-masing wilayah berbeda untuk penggunaan bahan bakar. Sehingga, kalaupun diterapkan kebijakan ron tinggi, tetap diperlukan klasterisasi daerah, terutama di kota-kota besar.

“Kita tahu di Indonesia lebih dari 400 kota/kabupaten yang sangat beragam kondisi transportasinya,” ujar Iwa.

Ia mengingatkan, Indonesia memang masuk salah satu negara pengguna BBM ron rendah, dimana negara lain sudah tinggalkan. Namun, di sisi lain, BBM pun harus dipahami menjadi bagian meningkatkan taraf hidup masyarakat. Karena itu, jika taraf hidup masyarakat makin tinggi, pendidikan makin tinggi, maka kesadaran itu akan tumbuh, menggunakan bbm ramah lingkungan, seperti yang saya sampaikan diawal, bisa dilakukan. Apalagi, masyarakat Indonesia sebetulnya mudah diarahkan, asal terus diedukasi.

“Sehingga seharusnya dorongan pemerintah agar masyarakat menggunakan bahan bakar ramah lingkungan terus dilakukan, namun dorongan tidak cukup hanya dengam himbauan sesaat, tapi terus menerus melalui jaringan medsos yang ada dan pemerintah mempunyai perangkatnya,” ujar Iwa.

Iwa menerangkan, keengganan menggunakan BBM ramah lingkungan ron tinggi, seringkali bukan karena factor harga namun karena kebiasaan dan ketidak percayaan terhadap perbedaan BBM ramah lingkungan dengan Premium, karena itu perlu terus diedukasi manfaat dan perbedaan signifikan BBM ron tinggi.

Dihubungi terpisah, ekonom Senior Piter Abdullah menambahkan, untuk mengurangi emisi karbon, kebijakan penghapusan BBM ron rendah seperti premium, bisa ditempuh yang berujung subsidi APBN berkurang. Pilihan ini, secara finansial bagus karena mengurangi beban APBN. Namun di sisi lain, rawan secara politik, karena akan memunculkan gelombang penolakan.

Pilihan kedua, mengurangi atau menghilangkan premium, subsidi kemudian diberikan untuk penggunaan Pertalite, produk BBM lain ramah lingkungan. Pilihan ini menyenangkan masyarakat, tetapi akan berdampak lonjakan subsidi yang sudah pasti membebani APBN.
Pilihan dua ini tidak mudah, dan bisa dinilai sebagai status quo.

Karena itu, di tengah isu Covid, diperlukan kehati-hatian dalam mengambil kebijakan terkait BBM, karena ada factor daya beli. Apalagi fokus pemerintah mengatasi wabah Covid-19 menyelamatkan masyarakat dan dunia usaha yang terdampak. Mengurangi subsidi tak produktif memang tetap harus dipertimbangkan, namun perlu perencanaan jangka panjang dan tidak mendadak, terutama di saat pandemi masih ada.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin