Ilustrasi: Foto udara pasca banjir bandang di Kabupaten Aceh Tamiang Rabu (3/12/2025). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
Ilustrasi: Foto udara pasca banjir bandang di Kabupaten Aceh Tamiang Rabu (3/12/2025). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Jakarta, aktual.com – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kembali memperbarui data korban jiwa akibat rangkaian bencana alam yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Hingga laporan terbaru, jumlah korban meninggal dunia tercatat mencapai 1.022 orang. Besarnya jumlah korban ini memunculkan berbagai persoalan kemanusiaan, salah satunya terkait praktik penguburan massal jenazah di wilayah terdampak bencana.

Dalam khazanah fikih Islam, pengurusan dan pemakaman jenazah memiliki aturan yang jelas. Pada kondisi normal (ikhtiyār), setiap jenazah wajib dimakamkan secara terpisah, satu liang kubur untuk satu mayit. Ketentuan ini ditegaskan oleh Imam Syamsuddin ar-Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj, yang menyatakan:

(وَلَا يُدْفَنُ اثْنَانِ فِي قَبْرٍ) أَيْ لَحْدٍ وَشَقٍّ وَاحِدٍ ابْتِدَاءً، بَلْ يُفْرَدُ كُلُّ مَيِّتٍ بِقَبْرٍ حَالَةَ الِاخْتِيَارِ لِلِاتِّبَاعِ…الخ

Artinya, “Tidak boleh menguburkan dua jenazah dalam satu kubur, baik dalam satu lahad maupun satu syaqq. Setiap jenazah harus dikuburkan secara terpisah dalam kondisi normal sebagai bentuk mengikuti tuntunan syariat.” (Syamsuddin ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Juz 3, hlm. 11).

Namun demikian, hukum asal ini tidak bersifat kaku. Dalam situasi darurat, seperti bencana alam dengan jumlah korban yang sangat besar serta keterbatasan lahan dan tenaga, ketentuan tersebut dapat mengalami perubahan. Ulama besar Nusantara, Syekh Nawawi al-Bantani, menjelaskan bahwa dalam kondisi semacam ini diperbolehkan menguburkan lebih dari satu jenazah dalam satu liang kubur sesuai tingkat kebutuhan.

نَعَمْ، إِنْ دَعَتِ الضَّرُورَةُ إِلَى ذَلِكَ، كَأَنْ كَثُرَتِ الْمَوْتَى وَعَسُرَ إِفْرَادُ كُلِّ مَيِّتٍ بِقَبْرٍ لِضِيقِ الأَرْضِ فَيُجْمَعُ بَيْنَ الِاثْنَيْنِ وَالثَّلَاثَةِ وَالأَكْثَرِ فِي قَبْرٍ وَاحِدٍ بِحَسَبِ الضَّرُورَةِ

Artinya, “Ya, apabila ada keadaan darurat, seperti banyaknya jenazah dan sulit menguburkan masing-masing dalam satu kubur karena keterbatasan lahan, maka boleh menguburkan dua, tiga, atau lebih jenazah dalam satu kuburan sesuai kadar kebutuhan.” (Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in, hlm. 163).

Mazhab Syafi’i secara umum menegaskan larangan mengubur dua jenazah atau lebih dalam satu liang kubur dalam kondisi normal. Akan tetapi, larangan tersebut gugur ketika terdapat ḍarūrah, misalnya jumlah korban yang sangat banyak atau ketersediaan lahan pemakaman yang terbatas. Hal ini kembali ditegaskan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam penjelasannya:

وَلَا يَجُوزُ جَمْعُ اثْنَيْنِ فِي قَبْرٍ وَاحِدٍ بَلْ يُفْرَدُ كُلُّ وَاحِدٍ بِقَبْرٍ … نَعَمْ، إِنْ دَعَتِ الضَّرُورَةُ إِلَى ذَلِكَ كَأَنْ كَثُرَتِ الْمَوْتَى وَعَسُرَ إِفْرَادُ كُلِّ مَيِّتٍ بِقَبْرٍ لِضَيْقِ الْأَرْضَ…

Artinya, “Tidak boleh mengumpulkan dua jenazah dalam satu liang kubur dan masing-masing harus disendirikan. Namun jika kondisi darurat mengharuskan, seperti jenazah yang sangat banyak dan sulit menyediakan satu liang kubur untuk masing-masing karena keterbatasan area, maka boleh mengumpulkan dua, tiga, atau lebih jenazah sesuai kondisi darurat.” (Nihayatuz Zain, Juz I, hlm. 163).

Menariknya, ulama fikih Syafi’i dari Al-Azhar, Imam Ibnu Qasim al-‘Abadi, memberikan penjelasan yang lebih longgar terkait ukuran “kesulitan” dalam menyediakan liang kubur. Menurutnya, kesulitan tidak harus selalu karena banyaknya jenazah, tetapi juga bisa karena jarak antar kubur yang terlalu berjauhan sehingga menyulitkan untuk diziarahi. Pendapat ini tercantum dalam Hasyiyyah Ibn Qasim al-‘Abadi.

Namun pandangan tersebut dikritik oleh Syekh Abdul Hamid as-Syarwani, ulama Syafi’i yang bermukim di Makkah. Ia lebih memilih pendapat Syekh Ali as-Syabramalisi yang menegaskan bahwa selama masih memungkinkan menyediakan liang kubur terpisah, meskipun di lokasi lain yang lebih jauh, maka penguburan satu jenazah satu kubur tetap wajib dilakukan.

وَفِيهِ نَظَرٌ وَالظَّاهِرُ … فَمَتَى سَهُلَ إفْرَادُ كُلِّ وَاحِدٍ لَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ اثْنَيْنِ…

Artinya, “Dalam pendapat Ibn Qasim terdapat kejanggalan. Yang jelas, selama masih mudah menyendirikan setiap jenazah dengan satu liang kubur, maka tidak boleh mengumpulkan dua jenazah dalam satu kubur, meskipun harus menggunakan area lain yang lebih jauh selama masih layak dijadikan pemakaman dan mudah diziarahi.” (Hasyiyyah as-Syarwani, Juz III, hlm. 174).

Adapun terkait praktik menumpuk jenazah satu di atas yang lain dalam penguburan massal, ulama juga memberikan perhatian khusus. Syekh Ali as-Syabramalisi menegaskan bahwa jika jenazah ditumpuk seperti barang, maka pemakaman tersebut boleh bahkan wajib dibongkar untuk ditata ulang sesuai ketentuan syariat, selama memungkinkan.

فَرْعٌ) لَوْ وُضِعَتْ الْأَمْوَاتُ بَعْضُهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ… الْوَجْهُ الْجَوَازُ بَلْ الْوُجُوبُ)

Artinya, “Apabila jenazah diletakkan bertumpuk satu sama lain sebagaimana barang, maka boleh bahkan wajib dilakukan pembongkaran untuk ditata ulang sesuai cara yang dibenarkan syariat, jika tempat memungkinkan.” (Hasyiyyah as-Syarwani, Juz III, hlm. 174).

Dari berbagai pandangan ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa penguburan massal dalam satu liang kubur diperbolehkan dalam kondisi darurat, seperti bencana besar dengan jumlah korban yang sangat banyak atau keterbatasan lahan pemakaman. Namun demikian, syariat tetap menekankan penghormatan terhadap jenazah, termasuk larangan menumpuk mayat layaknya barang. Prinsip darurat memberikan keringanan, tetapi tidak menghilangkan adab dan kehormatan terhadap manusia yang telah wafat.

Wallahu a‘lam.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain