Memang, disatu sisi lama cuti Lebaran akan mendorong orang untuk lebih banyak mengeluarkan uangnya untuk belanja barang. Ini sebagai langkah mengantisipasi penurunan pertumbuhan sektor ritel seperti yang terjadi pada Lebaran tahun lalu dimana ritel hanya tumbuh 5%.
Tapi dari sisi kerugiannya ternyata lebih besar. Komponen ekspor menyumbang 20% terhadap PDB, impor kontribusinya 19% dan investasi cukup besar yakni 32%. Jika ditotal, perpanjangan cuti akan berpengaruh terhadap 71% dari komponen PDB.
Birokrasi yang mengurus izin ekspor-impor dan investasi ketika libur sangat menganggu aktivitas bisnis. Investasi menjadi terhambat dan memerlukan waktu yang lebih lama. Jalan yang biasa dilalui transportasi logistik pun terpaksa dialihfungsikan untuk menssuport arus mudik Lebaran, sehingga truk tidak bisa beroperasi normal.
Belum lagi, rencana produksi pengusaha juga akan berubah drastis, target untuk memenuhi stok bulan Lebaran harus dilakukan lebih cepat. Padahal saat ini biaya impor bahan baku meningkat karena kurs rupiah sedang melemah. Beban produksi akhirnya meningkat.
Kata Bhima, idealnya sebelum membuat keputusan cuti bersama harusnya ada dialog yang intens dengan asosiasi pengusaha, serta mitigasi resiko yang ditimbulkan akibat adanya kebijakan tersebut.
“Boleh boleh saja misalkan perpanjang libur tapi syaratnya pengurusan izin ekspor-impor dan investasi pun harusnya lebih cepat dengan penambahan shift kerja. 1 bulan sebelum cuti bersama, saya sarankan birokrasi yang berhubungan dengan aktivitas bisnis perlu buka 24 jam dalam sehari. Itu kompensasi yang harusnya disiapkan Pemerintah kalau tak mau Negara kehilangan potensi penerimaan pajak akibat terganggunya aktivitas bisnis,” tegas Bhima.
(Wisnu)
Artikel ini ditulis oleh:
Antara