Jakarta, Aktual.co — Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Jawa Timur khawatir peningkatan penerimaan cukai rokok pada 2015 akan berdampak negatif terhadap perkembangan industri di sektor itu, terutama pemutusan hubungan kerja (PHK).

Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Jatim Sulami Bahar di Surabaya, Minggu (1/3) menyatakan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional Perubahan (APBNP) 2015 target penerimaan cukai menjadi Rp141,7 triliun, naik 27 persen dibandingkan setoran cukai tahun 2014 sebesar Rp112 triliun.

“Kami sulit membayangkan kalau cukai dinaikkan lagi pada April mendatang atau mungkin pertengahan tahun ini. Dampaknya, bisa saja industri rokok Jatim banyak yang gulung tikar,” ujarnya.

Pada tahun 2014, ungkap dia, penerimaan cukai rokok meningkat 8,4 persen dibandingkan tahun 2013. Namun, akibatnya sebanyak 19 ribu buruh rokok kretek mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Kini industri rokok Jatim berkontribusi 60 persen terhadap nasional. Selama tahun 2014 ada sekitar 400 pabrik di mana sebagian besar sudah tutup,” katanya.

Bahkan, jelas dia, dari total pabrik tersebut tercatat 100 pabrik di antaranya hanya beroperasi dengan total buruh mencapai 360 ribu orang. Meski demikian, dengan adanya kebijakan baru pemerintah pada tahun 2015 diprediksi industri rokok akan tersisa 60 persennya dan banyaknya buruh yang dirumahkan mencapai 30 ribuan orang.

“Kondisi itu kami asumsikan dari kenaikan tahun lalu 8,4 persen yang memutus buruh sebanyak 19 ribu. Memang sangat ironis, industri rokok yang sudah mapan dan berkontribusi terbesar justru diperlakukan seperti ini,” katanya.

Di samping itu, tambah dia, kondisi itu juga diperburuk karena produsen telah dikenakan pajak daerah dan retribusi daerah sebesar 10 persen. Bahkan, termasuk dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

“Padahal pengusaha sudah memberikan pendapatanya kepada pemerintah. Akan tetapi, sepertinya suara pengusaha kurang didengar,” katanya.

Di sisi lain, sebut dia, dalam rencana kenaikan cukai itu pelaku industri maupun asosiasi juga tidak diajak bicara. Dampaknya, kondisi itu akan berimbas pada produksi rokok yang menurun dan Indonesia bisa menjadi pasar potensial penyebaran rokok ilegal.

“Kalau kenaikan cukai tinggi, peredaran rokok ilegal makin besar dan ini tentu merugikan pengusaha dan pemerintah. Sementara, penerapan MEA sebentar lagi dan peluang penyebarannya lebih besar,” katanya.

Meski begitu, lanjut dia, PHK juga dapat terjadi karena beralihnya konsumen rokok sigaret kretek tangan (SKT) ke sigaret krekek mesin (SKM). Dengan demikian, sejumlah pabrik memilih migrasi untuk memproduksi memproduksi rokok SKM dibandingkan SKT mengingat harus menyerap banyak tenaga kerja.

“Pada tahun lalu produksi rokok nasional mencapai 344 miliar batang dan Jatim berkontribusi 60 persennya. Pangsa pasar SKM sebesar 66 persen, SKT 26 persen, dan sisa enam persen disumbang sigaret putih mesin (SPM) dan sebagian kecil jenis cerutu,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh: