Jakarta, Aktual.com — Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia memandang hiruk-pikuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2017 di DKI Jakarta didominasi oleh kaum laki-laki. Menjadi pertanyaan, sebab dari tahun ke tahun Pilgub DKI masih saja minim cagub perempuan.
Dalam catatan KIPP Indonesia, belakangan memang muncul nama ‘Wanita Emas’ Hasnaeni Moein, Luluk Nur Hamidah dan Tri Rismaharini. Namun tetap saja, mayoritas nama yang ada adalah kaum laki-laki.
Berikut pandangan KIPP Indonesia tentang perempuan dalam kontestasi demokrasi sebagaimana disampaikan Caretaker KIPP Indonesia, Girindra Sandino, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (3/5).
Pertama, Pilgub DKI Jakarta harus menjadi momentum politik kaum perempuan untuk ikut tampil maju dalam kontestasi demokrasi lokal. Dorongan agar kaum perempuan untuk berani maju di Pilkada DKI Jakarta, tentu tidak ditujukan untuk sosialisasi gagasan patriarki yang meneguhkan perempuan dalam kerangka hubungan subordinatif.
Akan tetapi, keikutsertaan kaum perempuan harus dimaknai sebagai dorongan agar kaum perempuan lebih berupaya untuk meraih kesetaraan dalam segala bidang, termasuk politik.
Kedua, KIPP Indonesia menyoroti penyelenggaraan Pilkada 2015. Dimana partisipasi kaum perempuan masih rendah hanya sekitar 7 persen yang terdaftar dari total 1614 calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memenuhi syarat. Jumlah itu tersebar di 90 dari 262 daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak.
“Representasi perempuan dalam Pilkada Serentak 2015 masih jauh dari harapan untuk bisa menduduki jabatan eksekutif. Tidak tertutup kemungkinan hal ini kan berpengaruh langsung terhadap kebijakan yang pro terhadap kaum perempuan,” jelas Giging, sapaannya.
Gerakan kaum perempuan, lanjut dia, seharusnya menangkap fakta dan realitas politik ini sebagai sebuah agenda politik gerakan perempuan merebut kekuasaan.
Di sisi lain, hal ini tidak bisa disalahkan karena lemahnya gerakan perempuan dalam politik, karena kebijakan afirmatif di UU Pemilu maupun UU Pilkada serta di dalam internal parpol yang masih memandang calon laki-laki yang memiliki modal besar, polularitas lebih pantas menjadi calon kepala daerah ketimbang perempuan.
Gagasan KIPP Indonesia mengenai Konvensi Parpol, salah satunya bertujuan memunculkan kader-kader perempuan untuk tampil. Sementara UU Pilkada kedepan yang akan direvisi disarankan memberi peluang kepada perempuan untuk bisa maju dalam kontestasi demokrasi, yang tentunya harus ada kajian lebih lanjut yang mendalam.
“Ketiga, salah satu kendala bagi perempuan dalam pertarungan politik adalah perubahan struktural dan transformasi peran perempuan masih terbatas di lingkungan ‘borjuasi’,” kata dia.
Sementara, mayoritas lapisan bawah stratifikasi sosial masih belum mampu keluar dari kungkungan budaya patriarki sebagai sumber otoritas maskulin serta struktur-struktur yang menghambat emansipasi.
Terakhir, ‘kemenangan-kemenangan historis’ kaum perempuan di bidang hukum, sosial dan politik, dalam skala nasional maupun internasional pada intinya dapat mengokohkan prevensi penindasan, proteksi dan peningkatan aksesibilitas ke ruang publik, bagi perempuan.
“Kaum perempuan secara kuantitas dan kualitas menduduki jabatan eksekutif diharapkan agenda-agenda strategis dalam perjuangan kesetaraan gender juga harus diperluas pada satu sisi untuk mencegah dampak buruk krisis ekonomi terhadap perempuan,” ucap Giging.
Artikel ini ditulis oleh: