Jakarta, Aktual.com – Kebijakan pemerintah pusat dan daerah selama wabah COVID-19 tampaknya masih diprioritaskan kepada upaya meminimalkan penyebaran, bantuan sosial, program padat karya dan layanan kesehatan.

Namun penting juga sejak dini menyiapkan strategi apabila wabah COVID-19 ini berakhir. Terutama di DKI Jakarta,  di saat semua pelaku usaha ingin segera bangkit tentunya harus diantisipasi mulai dari iklim usaha sampai dengan sumber-sumber pembiayaannya.

Selama ini wabah COVID-19 telah mengubah paradigma konsumen, dunia bisnis dan pemilik aset (investor) mengenai pentingnya aktivitas yang bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya.

Banyak pemilik modal yang kemudian memikirkan kembali pendekatan terhadap keputusan investasi dan alokasi modal dengan menjadikan keberlanjutan sebagai filosofi investasi mereka.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyiapkan keuangan yang berkelanjutan (sustainable finance) periode 2019-2024 yang saat ini tengah memasuki tahap penguatan ketahanan.

Pada tahapan ini, industri jasa keuangan ditargetkan untuk memperkuat manajemen risiko dan tata kelola perusahaan yang baik pada aspek sosial dan lingkungan.

Keuangan keberlanjutan tidak lagi sekedar perilaku pada segmen bisnis dan investasi tertentu (niche), tetapi akan menjadi perilaku yang mainstream.

Bagi dunia bisnis dan pemilik aset, investasi berkelanjutan bukan sekedar “nice to invest” tetapi menjadi sebuah upaya beradaptasi untuk melaksanakan investasi di periode “new
normal”.

Strategi
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Institut Banking School (STIE IBS) DrKusumaningtuti Sandriharmy Soetiono, SH, LL.M mengatakan dalam era normal baru ini membutuhkan strategi dan inovasi untuk menjadikan keuangan berkelanjutan sebagai tujuan investasi.

“Keuangan berkelanjutan (sustainable finance) menjadi praktik utama pascawabah COVID-19, untuk mempercepat penguatan manajemen risiko dan tata kelola perusahaan terutama pada aspek sosial dan lingkungan,” kata Kusumanigtuti dalam web seminar (webinar) bertajuk “Sustainable Finance From Niche to New Normal“.

Terkait kebijakan pascawabah, mantan pejabat Bank Indonesia (BI) Prof Dr Muliawan D. Hadad, SE., MPA dalam web seminar itu juga mengatakan pentingnya untuk segera merancang keuangan berkelanjutan..

Muliawan yang kini menjabat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Swiss merangkap Liechtenstein mengatakan wabah COVID-19 telah membuat masyarakat di seluruh dunia terpengaruh dan terganggu.

Dampaknya bagi sektor keuangan sangat luar biasa seluruh negara terpengaruh sehingga perlu kebijakan yang luar biasa juga untuk menanganinya.

“Pandemi ini menyadarkan betapa pentingnya isu-isu sustainable finance ke depannya,” kata Muliawan.

Selain itu, wabah COVID-19 juga memunculkan kesempatan untuk membuat langkah-langkah persiapan, terutama industri keuangan pada saat masa pemulihan.

Sustainable finance itu menyangkut banyak isu. Mulai dari persoalan lingkungan, sosial, termasuk UMKM (usaha mikro kecil dan menengah).

Terkait dengan UMKM, di saat sekarang sektor ini paling terpukul cukup berat tidak seperti krisis sebelumnya dimana kita masih bisa berharap UKMM menjadi lokomotif (penggerak) ekonomi.

Menurut Muliawan, perlu usaha khusus agar UMKM kembali menjadi lokomotif. Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah agar UMKM dapat terus bergerak selama wabah mulai dari program binaan, bantuan, pinjaman dan sebagainya.

Ke depan Muliawan berharap harus ada penguatan terhadap UMKM agar mampu mandiri mendukung ekonomi pascawabah.

Anggaran
Kunci dalam memperkuat UMKM di tengah wabah sekarang adalah melalui anggaran. Saat ini terdapat alokasi anggaran di Kementerian Koperasi dan UMKM melalui anggaran program pemulihan ekonomi nasional.

Anggaran ini bisa dimanfaatkan untuk memperkuat permodalan UMKM yang tengah mengalami kesulitan akibat wabah COVID-19. Tujuannya agar pascawabah sektor ini dapat langsung menopang pertumbuhan ekonomi.

Menurut Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) penguatan terhadap UMKM agar sektor ini tidak mengalami guncangan akibat wabah COVID-19.

Pemerintah telah mengalokasikan anggaran pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp123,46 triliun diantaranya untuk UMKM. Bahkan untuk mencairkan dana itu sudah ada syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi.

Bamsoet mendorong pemerintah untuk mengoptimalkan penggunaan anggaran yang telah dialokasikan untuk koperasi dan UMKM dalam program pemulihan ekonomi nasional itu.

Meskipun anggaran diberikan secara bertahap, pemerintah telah menentukan hal-hal yang menjadi prioritas dan wajib didahulukan.

Selain untuk penguatan, pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran untuk penjaminan kredit modal kerja bagi UMKM, yaitu sebesar Rp100 triliun sampai 2021.

Namun bukan hanya persoalan permodalan saja yang dialami UMKM selama wabah. Banyak
UMKM mengalami kesulitan untuk melunasi kewajibannya terhadap bank akibat kondisi yang sulit ini.

Dengan demikian pembiayaan UMKM ini memang menjadi hal mutlak agar mereka tetap berjalan di tengah wabah serta siap menjadi penopang pertumbuhan ekonomi di saat wabah telah berakhir.

UMKM terutama di kota-kota besar seperti Jakarta selama ini menjadi jaring pengaman sosial untuk mengamankan pekerja yang terdampak wabah.

Ketika banyak pekerja dirumahkan mereka akan bertahan hidup dengan menjalankan profesi sebagai wirausaha. Di sini pemerintah dapat memfasilitasi dengan memberikan iklim kemudahan berusaha selain dukungan modal dan pinjaman.

Bantuan sosial memang dibutuhkan dalam kondisi sekarang. Namun cara itu merupakan jaring pengaman darurat tatkala masyarakat diminta agar dapat tinggal di rumah untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19.

Di sisi lain, sektor UMKM harus terus ditumbuhkan agar masyarakat dapat mandiri tidak semata-mata tergantung kepada bantuan pemerintah selama wabah terjadi. Di sini memang butuh kebijakan lanjutan agar sektor UMKM dapat terus terlindungi selama wabah. (Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin