Jakarta, aktual.com – Peperangan dengan senjata beramunisi standar kini sudah tidak lagi efektif karena mahal. Hal itu mengingat biaya untuk efektivitas serangan senjata beramunisi standar dengan radius 1 kilometer persegi area memakan biaya 2000 dolar AS.
Kalau dikonversi ke Rupiah sekarang, nilainya mencapai Rp 31.541.780.
Selain mahal, senjata konvensional beramunisi standar memerlukan tentara dan sudah barang tentu menimbulkan pertentangan Badan Perdamaian Dunia yang tidak menghendaki adanya invasi tersebut.
Lain lagi dengan senjata biologis. Senjata biologis adalah senjata yang menggunakan manusia atau makhluk hidup lainnya sebagai perantara serangan.
Bisa jadi, orang atau makhluk hidup lainnya yang ‘digunakan’ sebagai perantara tidak sadar sedang dimanfaatkan sebagai penyerang pertahanan temannya sendiri.
Dan menurut pengamat bidang militer/ pertahanan keamanan Connie Rahakundini, biaya penggunaan senjata biologis itu sangat murah.
“Biayanya 1 dolar AS untuk sekali serangan per 1 kilometer persegi area,” ujar Connie di suatu seminar di Palmerah, Jakarta, Selasa (10/3).
Selain murah, senjata biologis juga tidak mudah terdeteksi lawan karena tidak bisa dilacak dengan sinar X maupun penciuman anjing pelacak.
“Jika manusia terinfeksi, maka manusia tersebut dapat berfungsi sebagai perangkat transportasi senjata biologis tersebut,” kata Connie.
Tantangan Abad 21
Era kini sudah berganti dan semakin canggih. Untuk itu, pertahanan dan keamanan negara di abad 21 akan mendapat tantangan yang luar biasa.
Tantangan abad 21 itu adalah perang nubika atau nuklir biologi dan kimia. Tapi dari semua itu, perang biologi yang paling mengerikan.
Karena kita sudah tiba di era genomik, sulit untuk abai dengan cara perang seperti itu.
Bukan apa-apa, para teroris “kemungkinan” akan menggunakan senjata biologis karena biaya serangan cukup murah dan efek ‘kejut’ luar biasa.
Connie mengungkap, para teroris radikalis yang tidak terafiliasi dengan pihak manapun (lone wolves) sudah menyatakan dalam beberapa situs mereka bahwa mereka akan melakukan serangan-serangan menggunakan senjata tersebut.
“Mereka orang-orang frustasi atau gila, semacam yang menyerang pak Wiranto atau sibolga bombing. Besok-besok enggak lagi pakai senjata atau bom,” kata Connie.
Karena itulah, Indonesia pernah mengikuti Konvensi Senjata Biologis (Biological Weapon Convention/ BWC) di Jenewa, Swiss.
Ancaman yang timbul dari kemajuan biologi menimbulkan tantangan bagi Delegasi Indonesia yang diperkuat wakil dari Lembaga Penelitian Bio-Molekuler Eijkman Institute, Dr. Herawati Sudoyo, dan Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Prof Sangkot Marzuki agar mencoba membuat dunia memahami betapa kemajuan teknologi dan penelitian yang luar biasa di bidang biologi tidak hanya membuka peluang tapi sekaligus menimbulkan tantangan.
Tantangan itu bukan hanya bagi peneliti dan praktisi laboratorium tetapi juga bagi lingkungan dan masyarakat.
Untuk itu, Delegasi Indonesia menggarisbawahi pentingnya faktor manusia khususnya peneliti dan akademia dalam meningkatkan keamanan penanganan bahan-bahan biologi.
Delegasi Indonesia mendorong peneliti bermanfaat bagi masyarakat sekaligus juga memastikan hasil penelitiannya tidak bertentangan dengan pembentukan kode etik atau code of conduct yang dapat menjadi salah satu acuan bagi peneliti dalam melakukan kegiatannya. Namun itu saja belum cukup.
Pentingnya mitigasi kekinian
Karena, ketahanan Nubika bukan hanya tanggung jawab peneliti tetapi harus bekerja sama dengan pejabat penegak hukum yang memiliki kemampuan deteksi yang memadai.
Penegak hukum harus melengkapi kemampuan deteksinya dengan kecanggihan teknologi berbasis kecerdasan artifisial dan algoritma, selain kemampuan mitigasi oleh militer yang harus disiapkan secara dini.
Kalau tidak mempunyai kemampuan itu, dan hanya percaya pada kemampuan tentara polisi dan perawat untuk mengurusi manusia Indonesia yang terkena dampak akan sangat sulit.
Ada 400.000 tentara aktif dan 470.700 polisi aktif, serta 33.500 orang dokter umum dan 105.147 orang perawat berbanding dengan jumlah penduduk Indonesia pada 2020 yang mencapai 269,6 juta jiwa. Maka, satu orang tentara atau polisi harus menangani 573 orang. Satu orang dokter/perawat harus mengurusi 1.944 orang.
Kalau terjadi wabah besar-besaran bagaimana?
Jadi mitigasi dengan pendekatan kekinian seperti pemanfaatan teknologi kecerdasan artifisial dan algoritma itu penting.
Artikel ini ditulis oleh:
Eko Priyanto