tarif interkoneksi
tarif interkoneksi

Jakarta, Aktual.com – Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis menilai Rencana Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) melakukan penurunan tarif Interkoneksi mencari popularitas dengan merugikan negara dan menguntungkan operator asing yang beroperasi di Indonesia.

“Penurunan Tarif Interkoneksi tidak menjamin penurunan tarif ke pelanggan, ini hanya langkah mencari popularitas bagi pengguna jasa. Kebijakan ini justru menguntungkan operator asing dan merugikan negara, lebih parahnya lagi pihak yang dirugikan adalah  Perusahaan Milik Negara (BUMN),” ujar Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis, Wisnu Adhi Wuryanto dalam keterangannya kepada Aktual, Senin (29/8).

Disamping proses yang terkesan terburu-buru, lanjutnya, azas kepatutan penandatangan diabaikan. Pasalnya, kondisi saat ini tanpa adanya Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) seharusnya tidak layak seorang Plt Dirjen menandatanganinya.

Menurutnya, isi surat tersebut juga terindikasi melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, khusus mengenai penetapan tarif interkoneksi yang seharusnya didasarkan pada Pasal 22 dan 23 PP tersebut. Dimana Pasal 22 menyebutkan bahwa “Kesepakatan interkoneksi antar penyelenggara jaringan telekomunikasi harus tidak saling merugikan dan dituangkan dalam perjanjian tertulis”. Artinya tarif interkoneksi tersebut harusnya merupakan kesepakatan seluruh operator. Sedangkan di pasal 23 ayat (1) juga dijelaskan “Dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi melalui 2 (dua) penyelenggara jaringan atau lebih, dikenakan biaya interkoneksi”. Kemudian dilanjutkan di ayat (2) bahwa “Biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil”. Sementara sebagian operator tidak sepakat hasil penetapan pihak Kominfo karena perhitungannya tidak tratsparan, merugikan, dan tidak adil.

“Karena terindikasi melanggar, surat edaran ini potensial dilakukan gugatan ke PTUN, atau bila nantinya dikeluarkan melalui Peraturan Menteri maka potensial diajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung,” tambahnya.

Apabila dilihat dari sisi besar keuntungan operator asing dan kerugian negara, Wisnu menjelaskan bahwa besaran tarif interkoneksi yang ditetapkan Rp204, sedangkan pada Rapat dengar pendapat (RDP) antara komisi I DPR dengan para CEO operator pada tanggal 25 Agustus 2016 lalu, dengan Cost Recovery Rp65,-/menit, operator XL akan untung Rp139/menit, untuk INDOSAT dengan Recovery Rp87/menit akan untung Rp117/menit, untuk Hutchinson dengan Cost Recovery Rp120/menit akan untung Rp84/menit.

“Khusus untuk Telkomsel dengan Cost Recovery Rp285/menit akan rugi Rp81/menit. Jika trafik interkoneksi antar operator Rp10 miliar menit per bulan, bisa dihitung berapa keuntungan operator asing tersebut dan kerugian Telkomsel, misal kerugian Telkomsel di sini Rp800 miliar per bulan,” ujarnya.

Menurutnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika idealnya menetapkan tarif tidak sama rata, tetapi konsisten berbasis biaya masing masing operator. Apalagi melihat indikasi kerugian negara karena Telkomsel adalah anak usaha BUMN dan indikasi memperkaya pihak lain ini.

“Walau kebijakan ini populis, kami sedang mengkaji dengan serius untuk melaporkan kebijakan ini KPK dan BPK. Kami  juga berencana menyampaikan aspirasi dalam bentuk unjuk rasa damai kepada DPR  minggu depan,” jelasnya.

Ketua Umum Serikat Karyawan Telkom Asep Mulyana menyatakan bahwa kebijakan tarif interkoneksi dari Menkominfo memang akan membuat Telkomsel sebagai anak usaha Telkom rugi dua kali.

“Pelanggan Telkomsel dibayar lebih rendah dari biaya yang seharusnya saat dihubungi pelanggan non Telkomsel dan membayar lebih tinggi dari yang seharusnya saat pelanggan Telkomsel menghubungi, sehingga Serikat Karyawan Telkom menolak kebijakan tersebut dan mendukung apa yang akan dilakukan Federasi Serikat BUMN Strategis,” pungkasnya.

Untuk diketahui, biaya interkoneksi adalah komponen yang harus dibayarkan oleh operator A kepada operator B yang menjadi tujuan panggilan penggunanya. Selama ini, biaya tersebut disepakati Rp 250 per menit.

Interkoneksi sendiri merupakan salah satu variabel untuk menurunkan tarif ritel. Ada beberapa variabel lain yang juga berpengaruh seperti biaya pemasaran, biaya servis aktivasi, dan margin keuntungan yang diharapkan operator.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka