Warga melihat banjir yang menggenangi permukiman di Kampung Sewu, Jebres, Solo, Jawa Tengah, Minggu (19/6). Sejumlah kawasan di Solo terendam banjir akibat meluapnya Sungai Bengawan Solo karena hujan lebat dari Sabtu (18/6) sore hingga Minggu (19/6) dini hari, sehingga ratusan warga terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman. ANTARA FOTO/Maulana Surya/foc/16.

Solo, Aktual.com – Beberapa hari ini wilayah Solo terus diguyur hujan. Baik dengan intensitas ringan hingga lebat. Hujan tersebut pun mengakibatkan sejumlah wilayah di Jawa Tengah itu tergenang akibat luapan suangai Bengawan Solo.

Tim dari Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Kota Surakarta pun sudah menemukan penyebab atas banjir yang menerjang wilayah tersebut.

“DPU sudah menganalisa beberapa titik drainase di Kota Solo yang dianggap menjadi biang keladi, antara lain ketidaksinkronan kondisi drainase di Jalan Soepomo dengan saluran di bawah trotoar Jalan Slamet Riyadi,” kata Kabid Drainase DPU Pemkot Surakarta Arif Nurhadi di Solo, Rabu (5/10).

Belum lagi, katanya, adanya sedimentasi di sepanjang Jalan Wora-Wari hingga kawasan Kalitan yang sebenarnya merupakan saluran besar peninggalan zaman penjajahan Belanda. Kemudian ada pula penutupan dan pendirian bangunan di atas drainase.

“Kita butuh (anggaran, red.) banyak, Rp100 miliar untuk meningkatkan saluran. Itu jelas kurang.”

Dia mengatakan, upaya menjadikan Kota Solo bebas dari genangan dan banjir memang memerlukan anggaran yang relatif besar. Seperti halnya, pada tahun anggaran 2016, DPU Kota Solo mendapatkan plafon kurang dari Rp15 miliar khusus untuk penanganan banjir yang tersebar menjadi tiga proyek.

Sebanyak tiga proyek tersebut, yaitu pembangunan drainase dan gorong-gorong Rp8,1 miliar, pembangunan talud beronjong Rp2,6 miliar, dan pengendalian banjir Rp2 miliar. Proyek tersebut, katanya, belum termasuk yang menggunakan anggaran dari pemerintah pusat.

Arif menyebutkan beberapa hal yang menyebabkan pembengkakan anggaran, antara lain biaya sosialisasi, penertiban, serta pembangunan drainase. “Yang nutup drainase siapa? Ya masyarakat. Mereka tidak izin kepada instansi teknis, seperti DTRK (Dinas Tata Ruang Kota) dan DPU.”

Dia mengatakan dengan adanya izin maupun laporan ke DTRK, masyarakat akan mendapatkan arahan mengenai rencana pembangunan. Seperti contoh lagi, kegiatan pembangunan oleh masyarakat yang harus berapa meter dari jalan, berapa persen yang disisakan sebagai ruang terbuka hijau hingga perkiraan arah aliran air jika terjadi hujan.

“‘Master plan’ yang dulu bukan yang kita kehendaki. Dulu itu malah lebih menekankan partisipasi masyarakat dan tidak menekankan pada sisi teknis saluran drainase.”

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Wisnu