Jakarta, Aktual.co — Langkah Pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan sudah tepat. Hal tersebut dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementrian Hukum dan HAM, meski tidak perlu mendapatkan persetujuan DPR.
Menurut Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Sugeng Teguh Santoso, PP tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan.
“PP 99/2012, adalah produk hukum yang bertentangan dengan UU tentang Pemasyarakatan, diskriminatif dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga dalam penilai remisi yang adalah wewenang Menhukham,” jelas Teguh kepada Aktual.co, Minggu (22/3).
Dia berpandangan, PP tersebut bertentangan lantaran adanya pembatasan pemberian hak remisi serta pembebasan bersyarat (PB) pada tindak pidana khusus. “Pada UU Pemasyarakatan yang menganut prinsip pembinaan bagi napi semua napi berhak atas remisi apabila memenuhi syarat berkelakuan baik dan telah menjalani 1/3 masa hukumannya,” ugkapnya.
Sedangkan, lanjut dia, dalam PP 99/2012 terdapat pembatasan dan syarat-syarat lain yang tidak diatur dalam UU Pemasyarakatan. “Dalam PP disyaratkan adanya penilai instansi lain, seperti KPK dan Kejaksaan serta kesediaan menjadi justice colaborator,” tuntasnya.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM (menkumham) Yasonna Laoly mewacanakan untuk merevisi PP 99/2012. Dia menegaskan, maksud dari revisi bukan untuk memberikan ruang bagi koruptor.
“Saya kecewa dibilang Laoly obral remisi. Kemkumham (Kementerian Hukum dan HAM) hanya ingin atur pemberatan hukuman napi koruptor seperti apa,” kata Yasonna.
Dia menyatakan, pemberian remisi dan pembebasan bersyarat tidak dapat digantungkan atau ditentukan oleh lembaga lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian, atau kejaksaan.
Artikel ini ditulis oleh:

















