Jakarta, Aktual.com — Siapa yang tidak kenal produk fesyen “Hermes”. Produk ini dikenal dan dipuja oleh para pencinta fesyen, terutama untuk produksi tas wanita.
Tas merek Hermes yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1837. Hingga saat ini, tetap bisa bertahan, bahkan makin bertambah maju.
Meski hingga kini tas merek Hermes masih menyandang paling mahal di dunia, produknya tetap diburu.
Itulah yang menginsipirasi Hartono, pengusaha tas kulit asal Solo, Jawa Tengah.
“Tidak mudah masuk pasar luar negeri, terutama Eropa. Akan tetapi, saya tidak pantang mundur,” katanya di sela-sela ajang ‘Hong Kong Fashion Weeks’, dua pekan silam.
Hartono dengan “brand”-nya “Quendoline” membuka stan produk tas kulitnya di ajang ke-22 ‘Hong Kong Fashion Weeks’. Tas dan produk fesyen yang dihasilkan itu dibuat dari kulit ular phyton, yang didatangkan dari berbagai daerah di Indonesia.
Produk yang dihasilkan merupakan karya tangan para perajin tas kulit dari Solo, Tasikmalaya, dan Banten.
“Kami ingin lebih menghidupkan para perajin, dan mengangkat karya mereka lebih berkualitas dan mampu bersaing dengan produk sekelas Hermes. Tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin,” kata Hartono.
Dalam kegiatan yang dipadu dengan pameran dagang produk fesyen itu, Hartono membandrol tas kulitnya mulai dari harga 1.200–4.500 dolar Hong Kong, btergantung pada modelnya.
Meski baru empat tahun menggeluti bisnis tas kulit, produknya telah mampu menembus pasar Eropa, seperti Italia, Belgia, Inggris. “Ke Amerika Serikat, juga sudah kami masuki. Namun, itu tidak mudah,” ungkapnya.
“Kita harus bersaing, dalam hal kualitas maupun harga. Untuk kualitas, kami akan terus berupaya agar terus makin baik dengan harga yang kompetitif dan terjangkau. Intinya, kami ingin membuat produk dengan kualitas seperti Hermes namun harga Asia, terjangkau tidak saja untuk pasar Eropa, Amerika, tetapi juga Asia,” tutur Hartono.
Dalam gelaran Pekan Fesyen Hong Kong itu, terdapat 28 merek Indonesia yang tampil, termasuk 17 perancang fesyen dan aksesoris, baik yang tergabung dalam Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia(APPMI), binaan Kementerian Perindustrian, maupun empat perancang aksesoris yang difasilitasi Konsul Perdagangan KJRI Hong Kong.
Konjen RI Hong Kong Chalief Akbar Tjandradiningrat mengatakan bahwa Indonesia telah beberapa kali mengikuti ajang tersebut.
“Jumlah peserta yang ditampilkan Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat,” ungkapnya.
Tentang kreasi dan inovasi yang ditampilkan para perancang, Chalief mengatakan,” Bagus, produk kita tidak kalah dengan fesyen dari negara lain dan harganya pun sangat kompetitif. Hanya saja perlu selalu dicamkan, ‘quality control’ harus benar-benar dilakukan agar produk yang diekspor benar-benar terjamin kualitasnya.” Pekan peragaan busana Hong Kong, lanjut dia, merupakan ajang penting bagi para perancang Indonesia dan industri terkait dengan fesyen lainnya, untuk mempromosikan karya terbaiknya mengingat Hong Kong merupakan hub tempat bertemunya penjual dan pembeli potensial dari penjuru dunia.
Proteksi, Kreasi, dan Inovasi “Kalau pameran disini (Tiongkok dan Hong Kong), aman enggak? Nanti produk kita dibeli secara ritel lalu disontek,” kata Gemala Anjani, perancang fesyen.
Celotehan tersebut kerap dilontarkan peserta asal Indonesia saat mengikuti pameran dagang di Tiongkok dan Hong Kong. Tidak hanya pengusaha fesyen, aksesoris, bahkan produk unggulan berupa mebel, dan dekorasi rumah.
“Hong Kong bukan satu-satunya negara yang harus kita takuti, yang mencontoh produk-produk unggulan kita. Banyak pula negara lain. Khusus untuk fesyen dan produk fesyen, yang cepat sekali bergulir, tiap enam bulan berganti ‘trend’, sulit bagi kita untuk memproteksi atau mematenkannya,” tutur Wakil Direktur Dirjen Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian Bambang Irianto.
Ia mengatakan, “Yang bisa dilakukan adalah mendata. Ketika ada yang mengklaim, kita dapat tunjukkan. Paten saat ini baru dapat dilakukan untuk produk-produk jangka panjang, seperti batik, tenun, yang benar-benar unik, memiliki jangka waktu yang tak terhingga.” Bambang menuturkan bahwa fesyen dan yang terkait adalah dunia kreatif, yang akan terus hidup jika disertai inovasi.
“Jadi, sebaiknya para pengusaha dan perancang kita tidak perlu takut disontek asalkan kita tahu konsep dari produk kita secara tepat, termasuk pasar yang akan dimasuki, disertai kualitas, kreasi, dan inovasi yang senantiasa terus dikembangkan. Desain itu mati satu akan tumbuh kreasi baru yang lebih menarik,” katanya.
Bambang mengemukakan bahwa saat gelaran pekan fesyen Hong Kong, 60 peserta Indonesia sudah dapat melakukan transaksi jangka panjang, dalam jumlah besar, karena mereka sudah tahu pasar yang akan dimasuki, mitra dagang siapa dan sebagainya. Sementara itu, 40 persen lainnya masih “happy” dengan penjualan ritel.
“Yakinlah dengan kualitas produk yang terus ditingkatkan, kreasi dan inovasi yang terus dikembangkan, produk-produk unggulan Indonesia akan makin mampu bersaing di pasar internasional dengan harga kompetitif, seperti halnya komitmen untuk menghasilkan tas wanita berkualitas merek Hermes dengan harga Asia,” katanya.
Bambang berharap Hong Kong dapat menjadi pintu masuk bagi produk-produk unggulan Indonesia ke pasar internasional.
Sistem “Carnet” Guna mendukung promosi produk unggulan Indonesia di mancanegara, Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI mulai menerapkan sistem “carnet”.
“Semakin dinamisnya perkembangan perdagangan dunia, administrasi pabean sebagai penjaga arus barang ekspor-impor, dituntut dapat memberikan pelayanan atas prosedur kepabeanan yang sederhana, cepat, mudah, dan dapat diprediksi. Maka, kita mulai terapkan sistem ini,” kata Konsul Keuangan/Bea Cukai KJRI Hong Kong Imik Eko Putro.
Ia mengemukakan bahwa ATA/CPD Carnet System adalah prosedur impor sementara dan ekspor untuk diimpor kembali dalam jangka waktu tertentu yang lebih sederhana, cepat, dan dapat diprediksi jika dibandingkan dengan sistem yang ada sebelumnya.
Imik Eko Putro menjelaskan bahwa ATA/CPD Carnet System dibagi atas dua dokumen, yakni dokumen ATA untuk barang-barang, seperti keperluan konser, pameran kesenian, dan barang-barang pendidikan. Kemudian, dokumen CPD diperuntukkan bagi pengangkut barang, seperti mobil-mobil untuk pameran atau untuk melakukan touring.
Imik menambahkan bahwa ATA/CPD Carnet System berlaku layaknya paspor sebagai pengganti dokumen pabean. Sistem ini dapat dijalankan apabila kedua negara (negara asal dan tujuan) telah mengimplementasikan sistem yang sama. Saat ini ATA/CPD Carnet System telah digunakan oleh 70 negara di dunia. Di Indonesia sendiri, sistem ini mulai berlaku pada tanggal 15 Februari 2015.
“Jadi, dengan sistem ini, para pengusaha Indonesia yang akan mempromosikan produk unggulannya, dalam ajang apa pun di mancanegara akan makin mudah sehingga diharapkan produk Indonesia akan makin dikenal di pasar internasional,” katanya.
Sementara itu, Konsul Perdagangan KJRI Hong Kong Natan Kambuno mengatakan bahwa pameran dagang di Hong Kong berskala internasional relatif sangat banyak. Kegiatan tersebut dapat dimanfaatkan Indonesia untuk promosikan produk unggulannya.
Hong Kong sendiri telah menjadi pasar prospektif Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Nilai rata-rata total perdagangan nonmigas Indonesia-Hong Kong selama lima tahun terakhir mencapai 4,6 juta dolar AS dengan pertumbuhan 4,6 persen setiap tahun.
Nilai ekspor nonmigas pada tahun lalu mencapai 2,69 juta dolar AS dengan produk ekspor utama Indonesia ke Hong Kong mencakup elektronik, perhiasan, tekstil, mesin, dan makanan olahan, sedangkan nilai impor nonmigas Indonesia dari Hong Kong pada tahun 2013 sebesar 1,98 juta dolar AS dengan produk impor utama, seperti produk tekstil, suku cadang radio dan alat komunikasi, serta minyak esensial (essential oil). Jika Indonesia mampu terus memproduksi barang-barang unggulan dengan kualitas sekaliber Hermes dan harga kompetitif, produk Indonesia akan dapat merajai pasar internasional.
Artikel ini ditulis oleh: