Generated by IJG JPEG Library

Yogyakarta, Aktual.com – Komitmen pemerintah wujudkan Indonesia ‘Bebas Pekerja Anak’ pada 2022 melalui beragam strategi dan kebijakan penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA) Tahun 2016 dinilai masih kurang efektif lantaran belum ada pemahaman tentang pekerja anak dan hak anak di level komunitas atau masyarakat.

“Bagaimana mengubah pola pikir masyarakat terutama orang tua, karena ada banyak kasus anak tidak secara legal menjadi pekerja seperti di perkebunan dan bekerja atas ijin orang tuanya,” ungkap Novi Widyaningrum, Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, di Yogyakarta, Senin (13/6).

Menurut Novi, pada situasi sosial masyarakat saat ini, ada kecenderungan sikap permisif para orang tua terhadap anaknya yang turut membantu bekerja dengan alasan mengurangi beban keluarga. Misal, pada kasus pekerja anak perkebunan di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Hasil Studi Kualitatif yang dilakukan Novi pada 2014, diantaranya yakni dari 24 informan pekerja anak, mayoritas mengaku bekerja karena disuruh orang tua, ada yang mendapat upah dari orang tua, ada pula yang tidak. Sejumlah anak lainnya juga mengemukakan alasan bekerja adalah berangkat dari inisiatif sendiri. Terkait rentang waktu bekerja per hari, sekitar 33,3 persen anak bekerja selama 1-3 jam, 20,8 persen selama 4-6 jam, 25 persen selama 7-9 jam serta 4,2 persen selama lebih dari 9 jam.

“Anak sungkan jika menganggur, tidak melakukan apa-apa sementara orang tuanya bekerja di hadapan mereka. Dengan dorongan untuk bekerja bersama teman-temannya, maka mereka sukarela membantu pekerjaan orang tuanya,” kata Novi.

Selain itu, hasil studi juga menunjukkan hampir separuh dari informan pekerja anak tidak berminat lanjutkan jenjang pendidikan, penghasilan dari kebun tembakau dirasa mampu penuhi kebutuhan hidup mereka. Selain rendahnya minat belajar, pemakluman dari orang tua jadi persoalan tersendiri dimana mereka merasa tidak masalah bila anaknya bekerja di kebun atau selama proses pasca panen tembakau, sebaliknya senang karena bisa ikut menyokong ekonomi keluarga.

“Ini merupakan fenomena gunung es. Idealnya, identifikasi pekerja anak dilakukan di level komunitas oleh masyarakat sendiri dengan kesadaran penuh, bukan oleh pemerintah atau LSM semata. Masyarakat bisa didorong mengidentifikasi adanya pekerja anak dan membuat perencanaan terkait penghapusan pekerja anak di desa atau lingkungannya. Idealnya seperti itu,” himbau Novi.

Sebelumnya, pemerintah melalui Kemenakertrans sejak 2008 telah lakukan aksi pengurangan pekerja anak untuk mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH). Program ini menggalakkan penarikan terhadap pekerja anak dari lingkungan kerja dan dikembalikan ke dunia pendidikan melalui beragam pendampingan. Sasarannya adalah anak-anak yang bekerja dan tidak sekolah dari Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM).

Melalui PPA-PKH, sudah ada 11.000 pekerja anak yang ditarik dari lingkungan kerja selama 2013, kemudian 15.000 pekerja anak pada 2014 dan 16.000 pekerja anak di 2015. Jika dilihat sejak 2008, pemerintah mengklaim total penarikan pekerja anak hingga 2016 mencapai jumlah 80.163 pekerja anak.

Menurut UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan Anak, pekerja anak adalah anak yang berumur di bawah usia 18 tahun dan melakukan segala jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan serta tumbuh kembangnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis
Eka