Jakarta, aktual.com – Perang Aceh pada abad ke-19 Masehi menyimpan banyak kisah yang sarat makna bagi perjuangan bangsa. Betapa tidak, catatan sejarah Indonesia mencatat besarnya peran rakyat dalam melawan penjajah, termasuk para ulama.
Dalam berbagai catatan sejarah, para ulama terbukti memiliki kontribusi penting dalam jalannya Perang Aceh. Hal ini dibuktikan dalam buku karya Ibrahim Alfian berjudul Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912, yang menegaskan bahwa ulama memberikan dampak positif bagi pergerakan Aceh pada masa itu.
Menurut Ibrahim, para ulama berperan dalam memobilisasi massa untuk bergabung dalam peperangan. Peran tokoh agama di Aceh sangat besar, khususnya pada periode 1873–1912. Melalui pengaruh ulama, perlawanan terhadap Belanda pada abad ke-19 mendapat sambutan luas dari masyarakat setempat.
Masih merujuk pada karya Ibrahim Alfian (2016:125), peran ulama dalam Perang Aceh sangat strategis. Mereka menggerakkan rakyat untuk berperang melawan Belanda dengan menyebarkan ideologi “perang sabil”. Semangat ini mendorong masyarakat Aceh yang kental dengan ajaran Islam untuk turut terjun ke medan laga.
Tidak hanya menyiapkan pasukan, para ulama juga melatih mereka menjadi prajurit terampil dan mengajarkan strategi perang. Tujuan utama mereka adalah mengusir “kaum kaphe” – sebutan bagi penjajah Belanda dalam bahasa Aceh.
Bagi rakyat Aceh saat itu, Belanda dianggap sebagai kelompok kafir yang harus dimusnahkan. Seruan untuk mengusir kafir mendapat dukungan luas, terlebih melalui rapat-rapat para panglima perang yang umumnya dipimpin ulama. Tuduhan kafir kepada Belanda diperkuat oleh perilaku mereka yang kerap bertindak tidak manusiawi – membuat onar, bahkan membunuh rakyat Aceh tanpa pandang bulu, termasuk laki-laki, perempuan, dan anak-anak.
Dalam menggerakkan massa, ulama memanfaatkan pusat-pusat pengajian yang disebut dayah. Di tempat inilah para pengikut digembleng, bukan hanya dengan ilmu agama, tetapi juga keterampilan mengangkat senjata. Strategi ini membuat Belanda kesulitan memprediksi gerakan para ulama, terlebih karena mereka sering meremehkan peran tokoh agama dalam peperangan.
Salah satu ulama besar yang berpengaruh adalah T.g.k. Chik di Tiro. Selain menyebarkan ideologi “perang sabil”, ia juga tercatat sebagai pemimpin yang terjun langsung ke medan perang. Keistimewaan Chik di Tiro adalah kecerdasan dan kebijaksanaannya. Ia mampu menggerakkan orang melalui kata-kata lisan dan tulisan, meyakinkan mereka bahwa perang ini adalah jihad yang suci dan bersumber dari ajaran Islam.
Menariknya, Chik di Tiro masih membuka peluang negosiasi dengan Belanda. Ia pernah mengirim surat kepada pihak Belanda menawarkan kerja sama, dengan syarat siapa pun dari Belanda yang ingin ikut campur dalam pemerintahan Aceh harus terlebih dahulu memeluk agama Islam.
Berbeda dengan Chik di Tiro, Chik Kuta Karang tidak pernah mau berkompromi dengan kafir. Ia memilih mengandalkan kekuatan pedang untuk menghadapi Belanda. Dikenal gagah berani, Chik Kuta Karang memotivasi banyak orang melalui kepemimpinannya. Tidak heran jika ia memiliki banyak pengikut yang siap melawan penjajah.
Peran para ulama dalam Perang Aceh memberi pelajaran berharga. Sejarah ini mengajarkan bahwa dalam konsep pasukan Islam Aceh, mereka tidak akan memulai serangan sebelum musuh bergerak lebih dahulu dan melepaskan senjata.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















