ALHAMDULILLAH, RI GAGAL DIKUASAI PKI.
Pemerintah AS sangat berterima kasih atas jasa besar Soeharto dalam menggagalkan komunis menguasai RI, Australia, New Zealand, Asia Tenggara, dan sebagainya. Salah satu bentuk terima kasih AS adalah dengan menekan Belanda dan pengaruh PBB agar Papua Barat diserahkan kepada RI. Selain itu, melihat kekuatan militer Indonesia yang saat itu dibanjiri alutsista dari negeri “Beruang Merah”—yang mampu meluluhlantakkan tentara Belanda di Papua—menjadi pertimbangan penting.
Freeport, sebagai jaminan AS di Papua, menjamin keutuhan NKRI. Tidak ada kekuatan asing yang berani mengusik Papua sebagai bagian integral NKRI. AS juga membantu merevitalisasi alutsista TNI yang berguna dalam operasi penumpasan PKI, serta mendukung laporan intelijen dari CIA yang memuat daftar nama-nama kader PKI. Karena kemiskinan dan kebodohan merupakan faktor utama tumbuh suburnya komunisme, rezim Orde Baru pun diberi pendampingan konsep dan program pembangunan oleh AS.
Untuk mencegah pembodohan bangsa dari propaganda komunis, langkah Panglima TNI untuk memutar kembali film G30S/PKI sudah tepat, sebagai pembelajaran sejarah bangsa. Hal ini termasuk pula pemutaran film Janur Kuning tentang serangan umum 1 Maret 1949 di Jogjakarta, sebagai pengingat kisah heroik para pejuang dan “Kusuma Bangsa” pada masa pasca-kemerdekaan.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, Indonesia dikenal sebagai “Macan Asia” dalam kekuatan ekonomi melalui swasembada beras dan penggalakan teknologi melalui BPPT. Diprediksi, Indonesia akan melampaui Jepang, Korea Selatan, dan Singapura serta menjadi negara maju dengan konsep kemandirian ekonomi. Namun, kekhawatiran bahwa hal tersebut akan mengganggu kepentingan negara-negara besar dalam ekonomi global—khususnya lembaga keuangan yang mereka gunakan untuk kepentingan global—merupakan salah satu alasan mengapa Orde Baru harus dijatuhkan dari dalam. Hal ini dilakukan melalui operasi intelijen dengan menggunakan tangan anak-anak bangsa sendiri, melalui gerakan mahasiswa yang ditunggangi oleh politik global dan internal. Inilah yang sebenarnya terjadi, dan hal ini tidak dipahami oleh kaum reformis yang telah termakan euforia reformasi, sehingga reformasi absurd terjadi tanpa ujung dan tidak jelas ujung pangkalnya hingga 27 tahun kemudian.
Untuk itu, jangan sekali-kali melupakan sejarah bangsamu. Belajarlah dari sejarah masa lalu agar bisa mengambil keputusan secara bijak dan tepat dalam langkah ke depan demi kepentingan umum bangsa dan negara.
Oleh: Agus Widjajanto, Penulis adalah praktisi hukum, pemerhati masalah sosial-budaya, hukum, politik, dan sejarah bangsa, yang tinggal di Jakarta.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano














