Jakarta, Aktual.com — Rencana pemerintah Perancis yang akan menerapkan bea masuk atau pajak impor tambahan terhadap produk-produk minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya, dirasa sangat tidak tepat dan diskriminatif bagi Indonesia.

Dirut Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Bayu Krisnamukhti mengatakan argumentasi pemerintah Perancis tidak tepat, memberatkan dan merugikan bagi produk Indonesia.

“Pertama,  jelas kita menganggap kebijakan tersebut tidak tepat. Argumen tambahan pajak pemerintah Perancis tidak tepat, itu bentuk diskriminatif bagi Indonesia,” kata Bayu Krisnamurti di kantor Kemenko Maritim, Jakarta (2/2).

Selanjutnya dia akan berupaya melakukan pendekatan dengan negara produsen, seperti Malaysia dan Afrika untuk menyatakan keberatan atas rencana penambahan pajak tersebut.

Selain daripada itu, berdasarkan keterangannya pemerintah Indonesia akan melakukan lobby terhadap pemerintah Perancis agar mempertimbangkan atas keberatan negara-negara produsen CPO.

“Tahap ini sifatnya masih lobby dan ada delegasi ke Perancis (Brussel) Itu akan dipergunakan. Langkah-langkah selanjutnya, kita akan siapkan. Kalau Perancis tetap berlakukan pajak ini, kita akan siapkan langkah sepadan dan legal,” jelasnya.

Diketahui bahwa saat ini Menteri Lingkungan Perancis telah memasukkan rancangan peraturan pajak impor tersebut kepada parlemen Perancis untuk mendapatkan persetujuan.

Diperkirakan, paling lambat keputusan parlemen Perancis itu akan keluar pada bulan Maret 2016 dan akan berlaku resmi mulai tahun 2017.

Besaran pajak impor itu adalah 300 euro per ton pada 2017, dan akan meningkat menjadi 500 euro per ton pada 2018. Selanjutnya pada 2019 akan naik lagi menjadi 700 euro per ton pada 2019, serta naik jadi 900 euro per ton pada 2020.

Untuk ekspor ke negara Prancis sendiri masih relatif kecil 50 hingga 150 ton, namun untuk ke Eropa total secara keseluruhan ekspor mencapai 3,5 hingga 4 juta ton.

“Kalau ekspor ke Prancis sebenarnya kecil, total ekspor 3,5 hingga 4 juta ton ke Eropa. Yang besar itu belanda, Italia dan Spanyol. Namun ini bukan masalah besar kecilnya, bamun ini masalah diskriminatif dan tidak fair,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka