Dalam perang energi khususnya gas di Timur-Tengah nampaknya Amerika Serikat kewalahan menghadapi ekspansi Rusia dan persekutuan Irak-Iran dan Suriah. Pada 2015 lalu, Iran, Irak dan Suriah telah melakukan kesepakatan perjanjian proyek pembangunan jalur pipa gas dari Teluk Persia menuju Laut Tengah, untuk membuka pasar energi panas bumi tersebut ke Uni Eropa.
Namun ada skema lain yang nampaknya Uni Eropa merasa lebih diuntungkan daripada skema Irak-Iran-Suriah tersebut di atas. AS, Inggris dan Prancis memprakarsai sebuah proposal proyek pembangunan jaringan pipa minyak dari Qatar, yang memiliki volume panjang mencapai 1.500 kilometer melintasi Arab Saudi, Yordania, Suriah hingga Turki. Dengan nilai investasi 10 triliun dolar AS, jalur pipa tersebut berfungsi menghubungkan pasar energi Eropa melalui Turki sebagai selter distribusi ke wilayah Eropa.
Uni Eropa nampaknya berkepentingan dengan proyek pembangunan pipa Qatar-Turki tersebut, karena kebutuhan pasokan gas 30% Uni Eropa disuplay oleh Rusia. Sekadar informasi. Jaringan pipa gas Rusia untuk memenuhi kebutuhan Uni Eropa melalui Ukraina dan Belarusia. Importir terbesar gas Rusia adalah Jerman dan Italia, disusul Perancis, Hungaria, Republik Ceko, Polandia, Austria dan Slovakia. Selain Uni Eropa negara yang membutuh gas alam Rusia adalah Ukraina, Belarusia dan Turki.
Adapun Rusia memiliki ketersedian cadangan energi mencapai 87 miliar barel cadangan minyak, 1.163 triliun kaki kubik cadangan gas, dan 157 juta ton cadangan batu bara. Dengan kata lain,Rusia merupakan produsen terbesar kedua gas alam dan minyak setelah Amerika Serikat dan Arab Saudi. Ekonomi terbesar Rusia dihasilkan dari ekspor energi dengan pendapatan minyak dan gas mencapai 52 persen seluruh pendapatan negara.
Adanya dua skema inilah, skema AS-Prancis-Inggris pada 2010 dan skema Irak-Iran-Suriah pada 2015, melatarbelakangi Krisis Suriah sejak 2011 hingga sekarang.
Kepentingan geoekonomi Rusia, Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Uni Eropa dipertaruhkan di Timur Tengah khususnya di Suriah. Suriah punya nilai yang strategis bagi negara-negara besar tersebut. Krisis Suriah yang berlarut sejak 2011 hingga sekarang sejatinya merupakan persaingan AS-Prancis-Inggris-Uni Eropa dan Rusia, untuk berebut pasar energi terutama minyak dan gas untuk menguasai pasar di Eropa.
Lantas, bagaimana dengan Turki? Nampaknya Turki bermain dua kaki, khususnya terkait soal Krisis Suriah ini. Dalam soal gas ini, Turki nampaknya juga menjalin konsesi dengan Rusia.
Pada 2010 Turki dan Rusia telah melakukan memorandum of understanding (MoU), dengan nilai investasi 10 miliar dolar untuk proyek Turkish Stream pembangunan pipa gas dikedalaman Laut Hitam dari Rusia ke Turki. Menargetkan 63 miliar kubik gas per-tahun gas alam Rusia, dialirkan melalui perbatasan Turki-Yunani untuk didistribusikan ke Eropa Selatan.
Itulah sebab dalam menyikapi soal Suriah yang hakekatnya merupakan perang gas antara AS dan Uni Eropa versus Rusia, Turki terkesan bersikap “abu-abu.”
Hendrajit, redaktur senior.