Yogyakarta, Aktual.com – Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Mudzakir, menilai Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) nomor 13/2016 belum dapat menyelesaikan persoalan terkait tata cara penanganan tindak pidana korporasi.
“PerMA ini sebenarnya belum menyelesaikan masalah karena masih ambigu, belum mengatur secara jelas tentang tindak pidana apa saja yang mungkin bisa dilanggar oleh korporasi,” katanya di Yogyakarta, Minggu (29/1).
Ketidakjelasan itu menurutnya terkait batasan-batasan delik maupun subyek hukumnya. Korporasi sebagai subyek hukum harus terpisah sendiri, jangan dicampur dengan subyek hukum orang pribadi.
Dalam kaidah hukum, korporasi mirip dengan apa yang disebut sebagai Badan Hukum. Maka harus ditentukan delik-delik yang jadi kualifikasi pelanggaran korporasi, normanya harus jelas dan tegas.
“Karena selama ini memang belum ada terjemahan yang baku soal ketentuan tindak pidana korporasi, nggak ada kepastian,” kata Mudzakir
Ia mencontohkan korporasi yang lakukan pencemaran lingkungan atau membangun tanpa izin. Karena hal itu terkait pelanggaran kewajiban, maka korporasi bertanggungjawab dimana kemudian dalam proses diwakili pengurus.
“Jangan cuma pengurusnya saja yang dimintai pertanggungjawaban tapi korporasinya tidak, itu keliru, gebuk juga korporasinya,” imbuh Mudzakir.
Sebaliknya, tidak selalu tiap kejahatan yang dilakukan pengurus maka korporasi harus bertanggungjawab, tergantung delik. Apakah pelanggaran pengurus atas nama pribadi atau pegawai yang menyalahgunakan wewenang (kejahatan fungsional) meski mengatasnama korporasi.
Demikian halnya pelanggaran korporasi yang dilakukan atas kebijakan mereka sendiri sebagai entitas perusahaan.
“Batasan ketiganya harusnya jelas dalam PerMA ini,” tegas Mudzakkir.
Peraturan MA 13/2016 diketahui diterbitkan pada akhir Desember lalu. Aturan itu diterbitkan karena selama ini aparat kerap kesulitan merumuskan dakwaan di pengadilan terkait subyek hukum korporasi.
(Nelson Nafis)
Artikel ini ditulis oleh: