Jakarta, Aktual.com — Pengamat ekonomi Yanuar Rizki menuding, perilaku perbankan lebih mengutamakan kondisi pasar uang dibanding ke sektor riil. Sehingga ketika terjadi kelebihan likuiditas, perbankan nasional malah mengguyurkan dananya ke pasar uang, bukan ke sektor riil.

“Saat ini dengan BI Rate yang sudah diturunkan, likuiditas mulai longgar. Tapi akses likuiditas itu saat perekonomian relatif stabil justru tidak mengalir ke sektor riil, tapi ke sektor pasar uang,” kritik Yanuar di Jakarta, Senin (1/2).

Hal ini, kata dia, menjadi persoalan struktural perbankan, sehingga perbankan tidak bisa meningkatkan peran intermediasinya terhadap perekonomian. “Karena perbankan hanya peduli untuk menjaga nilai CAR (capital adequacy ratio/rasio kecukupan modal),” lanjutnya.

Selama ini, lanjut Yanuar, perbankan nasional masih disibukkan dengan persoalan efektivitas pengelolaan pendapatan dari aset yang dimiliki. Sehingga mereka mengalihkan return on asset (ROA) ke CAR membuat pendapatan perbankan sendiri naik, tapi rentan terhadap kondisi pasar.

“Maka yang terjadi, intermediasi perbankan tidak menjadi pilihan likuiditas. Tidak ke sektor riil. Bagi mereka, pasar uang antar bank dan obligasi lebih menjadi pilihan,” cetus dia.

Untuk itu ia menjelaskan, peluang sekaligus tantangan perbankan adalah stabilitas harga oblligasi. Namun, upaya inovasi dari obligasi yang diserap bank itu mestinya mengarah ke intermediasi.

Dalam konteks pasar uang antar bank ini, peran bank BUMN memang besar. Sebagai liquidity provider peran mereka dominan.

“Hanya saja, jika dilihat dari sisi intermediasi tentu kondisi tadi tidak positif. Karena yang dibutuhkan rakyat adalah intermediasi. Agar sektor riil bertumbuh,” tegas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka